Jumat, 12 Maret 2010

Mungkin (Aku) Juga Gila




Entah mimpi apa yang datang jika tidur awal menjadi kaget tanpa alasan, bangun sebelum tengah malam. Tentu tak seimbang dengan kondisi badan, keletihan, yang seharusnya terbayar selepas seharian mutar-mutar tanpa garis edar. Paling tidak, seharusnya badan ini tidur minimal 5 jam. Setelah kaget berdiri, cuci muka yang aku bisa. Malam sudah menenun kegelapan, ke warung kopi menjadi pilihan. Duduk ditemani sebotol air mineral tanpa kopi, ditemani 2 (dua) anak manusia yang seringkali bersama. Cukup lama mencari referensi dan bahan, namun belum ditemukan, hingga waktu online pun tak terasa. Lepas tengah malam, memilih bubar. Diparkir terasa perut lapar, padahal diawal malam sebelum tertidur sempat menelan bakso sambil mendengar banyak senda gurau dari teman-teman. Tadi sempat bertemu si Dia dengan penuh nuansa, tak ada yang berbeda dari pertemuan sebelumnya. Kita hanya saling menyapa, dan bercerita tentang MR yang mengajaknya berbincang. Oh maaf, jika dikesempatan ini, aku pun tak bisa melupakan senyumnya.
Usailah cerita pertemuan dengan si Dia tadi. Mari lanjutkan kembali cerita ku selepas tengah malam. Keluar dari parkiran warung kopi, mengajak teman-teman makan diemperan, disimpang jalan Alianyang-Penjara. Itu tempat kami nonkrong untuk menemukan suasana baru. Mendekatkan diri dengan para pedagang kecil yang nasib dagangannya setiap hari semakin ganjil. Memilih makan masakan bibi yang warung kaki limanya menjual rujak, nasi kopi, dan makanan lainnya.  Kami bertiga memilih untuk makan nasi, dengan lauk pauk yang berbeda porsi. Kompak es teh yang kami pesan, tak hirau diluar tampak hujan. Kami duduk dan makan dipelataran warung, sambil menyuap dan menelan diselingi tawa. Masih saja seputar pertemuan ku dengan si Dia yang tak pernah terduga akan kepergok sama mereka. Aduh, malunya. Kembali memilih diam saja saat olok-olokan itu menciutkan telinga, tak mesti dijawab, agar semuanya semakin sederhana. Agar mereka bisa menganggap itu hal biasa, meskipun terlihat aku paling “tua” diantara mereka. Tak ada waktu habis, canda mereka kian manis meski mengiris. Jangan membantah, karena bisa membuat pikiran lelah. Jangan diklarifikasi, karena mereka tak pernah sangsi pada asumsi. Maka dari itu, diam saja.
Ditengah gelak bertandang, tiba-tiba datang seseorang yang tak diundang. Perawakan tinggi, berkulit sawo matang (jika tak tega mau menyebut hitam) seperti ku. Terlihat rambut pendek agak ikal, celana coklat muda, dan berbaju putih sebuah partai politik. Duduk dihadapan kami bertiga yang duduk dibangku panjang menghadap jalan. Laki-laki itu langsung meminta rokok, dengan tangannya langsung meraihnya. Rokok Marlboro ku yang dipilihnya, meski ada Dji Sam Soe Refill dimeja yang sama. Dia langsung menyalakan dengan cricket biru yang bertahan ditangan ku sudah seminggu. Setelah rokok mengepul dia duduk sebentar, dan langsung kabur entah kemana, tampak menyeberangi jalan di sisi luar halaman warung. Obrolan pun berlanjut tanpa terasa terganggu oleh kedatangan tamu “agung” itu. Banyak tawa, sindiran dari dua orang teman tentang si Dia tetap berjalan dengan sempurna. Ampun Gusti, tadi pagi mereka makan apa, sepertinya “enak” saja air liurnya?
Dari hujan berganti gerimis, topik kami sedikit bergeser. Nasi dan dan lauk yang kami telan sudah diproses mencadi encer. Ngawor-ngidul tak ada suara yang membahana selain kami bertiga. Kami berbincang tentang obrolan dan nasib kaum kecil yang sepertinya kian menggigil. Tentang para intelektual gombal, politisi yang tak peduli, nasib Nahdlatul Ulama ditangan para kyai politisi atau ustadz birokrat. Berbincang harapan kami yang ingin melihat semuanya damai, tidak saling bercerai berai. Tanpa suara, lelaki itu datang kembali dihadapan kami. Langsung mengambil kembali rokok dihadapan ku yang sisa sebatang. Tanpa suara, dia menghisap es teh sisa punya teman ku yang tak lagi terasa manisnya. Kami biarkan saja laki-laki itu mengekspresikan kehendaknya atas milik kami, karena kami mungkin sudah “memaklumi” kelakuannya. Padanya kami belajar bertoleransi.
Membiarkannya, itu pilihan kami, karena untuk mengajaknya berbicara kami enggan memulai. Lalu, lelaki itu memunguti sisa-sisa nasi dari piring yang tersusun acak-acakan di meja makan. Dia mengais sisa gorengan ampla yang penuh abu rokok, karena piring sisa makan kami sulap menjadi asbak. Hati getir darah berdesir. Toleransi ini tak boleh dibiarkan, harus dilawan. Aku memberanikan diri menyapa lelaki itu dengan merendahkan suara. Menawarkan makan untuknya, dan dia menolak tanpa alasan. Tiga kali ditanya, tiga kali pula dia menolak dengan tegasnya. Mungkin, aku masih terdengar tinggi suara, maka ku melembutkannya. Tawaran ku untuk membayarkan asal mau makan diterima. AKu pesankan makan, persis porsi yang ku telan. Minum pun disamakan seperti yang mengalir di kerongkongan. Tak ada bedanya, karena dia juga manusia, seperti kami yang duduk merenda dunia. Sambil menunggu makan untuknya datang, kami bertiga diam membisu, bahkan pikiran pun buntu dan hatipun beku.
Dia menggeser duduknya ketika makan ke kursi sebelah, lahap sekali nampaknya. Kami bertiga masih terlibat bicara nostalgia. Tak ku pandang ia menelan karena khawatir dia menjadi sungkan. Aku hanya mencuri pandang, dia menelan dengan senyuman. Senyumnya terus mengembang sepanjang menikmati rejeki. Sungguh indah sikapnya dihadapan Tuhan, tak seindah kita yang gampang untuk makan namun selalu merasa kekurangan. Sungguh bijak ia menyikapi kekurangan, tak sebijak kita yang mencintai dunia dengan kerakusan. Alangkah sabarnya dia menjalani cobaan, tak sesabar kita yang menghadapinya dengan keculasan dan keangkuhan. Alangkah santai dia menahan lapar, tak sesantai kita yang demi makan ikhlas bertengkar. Betapa nyaman dia menjalani kehinaan dimata orang, tak senyaman kita yang sombong sekalipun dihadapan Tuhan. Betapa riang dia dipandang sebelah mata, tak seriang kita menghalalkan segala cara untuk bisa dianggap bahagia. Sungguh, Alangkah, dan betapa dia juga  seorang insan seperti kami yang duduk bertiga.      
Dengan merasa kenyang seusai santap menjelang dini hari, ia duduk menatap televisi. Sempurna tatapannya, terkulum senyumnya melihat film yang ditayang. Tak ada kata ataupun suara dari mulutnya. Hanya kerdipan mata bahwa dia tidak seaneh yang orang kira. Seringkali kita melihat orang-orang seperti ini yang berkelakuan aneh sebagai tanda manusia tidak waras, atau gila gampangnya. Gila itu kata yang sering kita daulatkan pada orang-orang yang unik dalam hidupnya, berbeda dengan manusia umumnya. Kita selalu menganggap diri paling waras, karena berprilaku menurut persepsi atau asumsi yang semestinya. Kita yang selalu mengira-ngira bahkan tak jarang dengan menerka-nerka. Lebih parah lagi, kita merasa manusia yang paling berhak menafsirkan titah-Nya dengan mengabaikan manusia lainnya. Bahkan lebih mudah lagi, kita yang bisa menikmati dunia dan isinya, merasa paling waras hidupnya. Mengejar harta dengan cara apapun kita lakukan untuk tidak dipandang sebelah mata atau dilecehkan dalam kehidupan. Kita, manusia yang gila sebenarnya namun mewaraskan diri dengan cara berpura-pura.
Waras dan gila bukanlah prilaku berlawanan, namun hanya sebatas perbedaan. Kita semestinya bisa mengilhami perbedaan dengan cara indah dalam memandangnya. Tidak lagi melihat orang berbeda sebagai manusia yang tak pantas hadir di dunia. Bahkan lebih kejam lagi, kita yang merasa waras atas pikiran sendiri tak lagi memakai nurani dalam menilai bumi dan isi. Sungguh, manusia tak ada yang sempurna, bahkan aku pun sempat menganggap laki-laki tadi itu juga gila.
Hujan teduh setengah tiga, kami pulang bersama menaiki kerangka besi tua. Tak ada obrolan dijalan, hanya tawa bersahutan, entah apa yang dibicarakan, tak jelas awal dan tujuan. Sesampai dirumah, aku segera mungkin untuk tak lupa, merasa menemui-Nya. Tak ada angin, bahkan semilir lembut pun tak datang disuasana hening. Ku lihat teman-teman tadi terlelap dengan tenang walaupun posisi tidurnya asal-asalan. Melihat mereka, aku jadi berpikir bahwa kita tak pernah waras selama 24 jam, karena dalam tidur kita tak bisa mengatur. Berserah pada kemauan-Nya layaknya laki-laki diwarung tadi, yang keondisinya karena kehendak-Nya. Aku pun gila merasa menghadap-Nya, padahal bisa jadi itu keberpura-puraan ku mentaati perintah-Nya. Apapun amal yang kita lakukan dan kedudukan yang diemban, jangan dijadikan modal untuk minta diagungkan, dipuji bahkan untuk didewakan. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga selalu merendahkan hatinya. Baginda pernah berkata “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Quraisy yang biasa makan ikan asin” di suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi dan gemetaran -oleh wibawa beliau- saat berbicara.
Indahnya Kanjeng Rasul, yang tak pernah memandang hidup orang lain dengan sebelah mata. Selalu mengayomi perbedaan dan kealfaan manusia dengan kerendahan hatinya. Tidak seperti kita kebanyakan, dan aku yang menuliskan, hanya mengejar dunia dengan isinya tanpa bisa sederhana dan bersahaja. Tanpa mengenal waktu, hanya merasa waras dengan pikiran sementara. Bisa jadi, kita lebih gila dari saudara ku di warung tadi yang telah dibebaskan hukuman atas dirinya. Jika dia dianggap gila karena tak bisa menggunakan akalnya, mungkin kita gila karena berlebihan menggunakan fungsi sebagai manusia.
Akhir cerita dari perjalanan, melepas Jum’at yang keramat, aku gerakkan jari-jemari untuk menari. Abjad tersusun tak rapi, ditemani segelas kopi, aku mengenang nostalgia malam tadi. Mengenang lelaki itu, dimana salah satu teman ku berkata dengan nada tanya “apakah dia itu orang gila?”. Aku pun beranikan hati menghina diri sendiri dengan berkata “mungkin (aku) juga gila”
Shalawat dan salam pada Paduka, Ya Rasulallah, aku merindukan mu…

Lepas jum’at, menatap benteng dan bidak
Digerakkan teman dengan otak
Terdengar dahsyat beberapa kali berteriak, skak!
Namun sayang, tak juga mat, karena lawannya selalu bertindak
11032010                                             Jam 13.05 Wib

   

Selasa, 09 Maret 2010

Sandal Jepit dan Hati Terhimpit



“bisikan tentang mu telah berkarat,

sulaman hati telah dilipat,

nostalgia tak dapat diingat.

bukan karena pikun,

tapi mata sudah melepas lamun,

dan aku telah mulai menenun"





Harga sepasang sandal jepit ku mungkin tak seberapa. Aku membelinya dari toko sebelah rumah yang penjualnya longgar dalam tawar menawar. Setelah harga sama liur antara aku dengan penjual, ukurannya sandal tak ada yang pas, ada yang kebesaran dan ada yang kekecilan. Tak ada yang benar-benar pas dibelakang dan dimuka. Sipenjual merayuku untuk sabar, dia berlari kebelakang membongkar gudang. Dibawanya empat sandal jepit yang katanya baru, walau ku pandang kelihatan usang. Aku mencobanya satu persatu. Tiga diantaranya terlalu besar dan hampir saja aku batal. Sisa satu yang belum dicoba, ternyata size nya sesuai dengan yang ku cari dan cocok ketika dicoba. Maka, jadilah aku membelinya, seharga sebiji permen bagi orang kaya.

Sandal jepit itu terasa ringan untuk dilangkahkan. Sehabis magrib, beranjak dari pelataran masjid. Tampak semangat untuk segera pulang, ingin membaca pesan yang datang. Sejak tadi memang gelisah, sejak takbir hingga usainya do’a. Terlihat dari gerakan shalat bagai bersilat, bibir komat-kamit terdengar sengit. Jika bisa imam pun ingin diganti, agar tak melantunkan bacaan dengan mendayu karena membuat dada kian memburu. Setelah salam ke kanan dan kiri tak lantas berdiri untuk pergi. Demi menjaga kesopanan masih ikut wiridan, walaupun membaca pelan karena berbagi dengan pikiran. Nah, itulah riwayat ku menyambut petang kemarin. Menanti jawaban tentang sebuah ajakan, lewat sebuah pesan yang ku kirim menjelang adzan.

Ditepian sungai kita janji bersemuka, di sudut jalan yang bangunannya tampak mulai berlumut. Sandal jepit menjadi alas ku menghampiri mu, untuk mendengarkan sebuah keluh kesah. Keresahan yang tampak mengganjal dihati mu, tentang pria sejati. Tanpa terasa kita sudah saling pandang dengan senyuman, dan kau mulai menyapa ku dengan salam.

“ada apa dengan mu, baiknya engkau ceritakan” aku meminta

“engkau laki-laki yang baru ku kenal dalam sebulan, semoga bisa menjadi tempat aku bercerita, tanpa paksa, dan entah dorongan dari mana” ujar mu merona

Bersahutan burung gereja menyanyi, disela itu mulailah kau bercerita. Aku menjadi pendengar setia, dengan sesekali bertanya. Cerahnya langit biru, memudahkan ku mencuri wajah mu, untuk ku tabung disaku hati ku. Diam-diam cerita itu ku rekam, dan ku ringkas dalam catatan harian.


*****

Engkau, gadis kecil nan mungil dari sebuah desa. Datang ke kota kecil ini untuk menjalankan Iqra’ yang diperintahkan-Nya. Engkau kenakan seragam putih abu-abu dengan berjalan kaki, kau sapu debu jalanan sepenuh hati. Setiap hari engkau hanya berkutat dengan pelajaran yang harus dipahami. Hingga suatu waktu ketika sekolah usai menyerahkan ijazah, engkau didekati oleh seorang pria yang sudah kuliah. Pria itu mengenalkan pada mu tentang keindahan kota kecil ini, mengajak mu berjalan bersama teman-teman. Perlahan, laki-laki itu menaruh perasaan pada keindahan paras mu yang elok dan rupawan. Indah rona mu dibalik jilbab putih yang berseri, membuat laki-laki itu terus mencoba untuk mencintai. Engkau tak pernah mengatakan rasa yang serupa, namun sulit sekali hati mu menunaikan pinta untuk mencintainya. Tak ada kata cinta yang kau ungkapkan karena hingga diperguruan tinggi pun tak jua kau rasakan.

Hingga suatu waktu, lelaki itu harus pergi ke seberang sana karena tugas pekerjaan yang tidak boleh dielakkan. Engkau melepasnya dengan kesedihan walau air mata tak kau jatuhkan. Merasa kehilangan sebagai seorang gadis yang ditinggalkan, hanya sebaris do’a yang kau iringkan. Bersama lajunya pesawat yang terbang meninggalkan negeri ini, disaat itu pula benih cinta mulai bersemai. Sayang lelaki itu pergi, kembali lagi engkau pada kesendirian, yang hanya berkutat dengan tugas dan diktat. Melepas kepergiannya dengan mata terbuka dan telinga yang menganga, menanti kapan ia akan kembali menyapa. Selama ia disana tak ada surat yang kau dapat, dan tak ada pesan yang dikirimkan, hingga ayah mu membelikan sebuah telepon genggam. Dia mengetahui nomor ponsel mu dari seorang teman, dan komunikasi pun kembali berjalan diantara kalian.

Di suatu hari yang kelabu, engkau menyapa pria itu lewat sebuah pesan. Namun sayang, seorang perempuan menelpon mu dengan teguran, untuk tidak mengganggu kekasihnya. Engkau terkejut bukan kepalang, karena laki-laki yang mulai bersemai dihati diambil orang. Walaupun cinta tak pernah engkau ucapkan sejak perkenalan hingga ia pergi, namun seharusnya dia telah mengerti bisikan mu selama ini. Cinta yang pernah bersemi mulai layu kembali, karena hati diseberang sana tak lagi menyirami. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, itulah pribahasa yang pas untuk menggambarkan suasana hati mu saat itu. Perlahan dan pasti, mulai hilanglah perasaan yang sempat muncul, terenggut oleh rasa hati yang terpukul.

Siang malam tak lagi kau menghiraukannya, kau kuat dengan sikap yang sigap. Hingga bertahun dari peristiwa itu, kau mengenal seorang pria sejati yang kau cari untuk meluluhkan hati. Kau mencintainya dengan sejuta pesona, pria yang bertanggujawab dan penuh pengertian. Mengayomi mu bagaikan seorang ayah memeluk anaknya yang kedinginan. Kau menjalankan hati mu dengan tak menampakkan rasa, berpura-pura. Engkau mendiamkan cinta di hati dengan segera mengalihkan pandangan mu bila berpapasan dengannya. Jika terpaksa bertatap muka, engkau hanya terlibat dalam canda dan tawa, seakan tiada cinta. Engkau membohongi perasaan mu dengan segala daya upaya. Hingga rasa itu memendam membentuk lingkaran yang memancarkan, namun tak jua kau ungkapkan. Pria yang kau cintai itu tahu bahwa kau punya rasa padanya, dan mungkin dia juga begitu, menurut tebakan mu ketika bercerita pada ku. Setiap pertemuan yang berlangsung dalam sebuah acara, lelaki idaman itu datang dengan membawa pacarnya. Engkau diam tak bisa berkata apa-apa, hanya mengalihkan pandangan mata, menutup hati yang kecewa.

Diam mu bagai disangkar emas, hati indah namun tak bisa mengepakkan sayap. Engkau tetap memilih untuk tidak mengungkapkan, karena hati mu tak ingin menghancurkan hubungannya dengan seorang gadis yang telah terjalin sekian lama. Sungguh perih cinta tak berbalas, walau berusaha belajar ikhlas. Tak ada keikhlasan jika indahnya hati mu disesalkan. ikhlas yang sempurna hanya memberi tanpa berharap untuk berbalas. Setiap dalam keheningan malam, engkau mengadu pada Tuhan untuk mendapat petunjuk jalan keikhlasan. Semuanya tetap berjalan, engkau tak bisa melepaskan, selalu membayang dalam angan. Bersama dengan keikhlasan yang ingin kau dapatkan, pria yang pernah meninggalkan mu pun datang kembali ke kota ini dengan seutas harapan.

Pria yang pernah mengisi hari-hari mu sejak usai berpakaian putih abu-abu, kau sambut tak secerah dulu. Tak ada lagi yang tercecer dihati dari nostalgia yang telah terhapus semua. Kau kembali dalam kekosongan walau dia tetap mengharapkan. Dia ingin berpulang kepangkuan mu, dan berharap hati mu tetap menunggu. Dia berpikir perasaan mu seperti dulu saat pesawat terbang membawanya pergi melaju. Tak pernah dia membayangkan bahwa sekian banyak laki-laki menunggu putusan hati mu. Dia masih meyakini bahwa hanya ada dia yang pernah menyinggahi perasaan mu yang indah dan cerah. Pria berambut lurus ini selalu mengajak mu untuk menikah, membawa mu terbang untuk menghadapi masa depan. Apalah artinya hidup, jika cinta hanya mengandalkan logika tanpa memahami hati, atau sebaliknya. Engkau selalu menolaknya, karena rasa setetespun tak lagi membasahi relung hati. Dia selalu berkilah bahwa selama ini selalu menunggu mu. Engkau merasa perjalanan yang dilakukan, berhenti ditengah jalan ketika semangat mulai menghangat, itu menjadi makna tersendiri hingga menghentikan perjalanan sebagai sebuah keputusan, bahkan hingga membakar peta tujuan. Engkau malah memberinya jalan untuk mempersunting gadis yang lain, karena cintanya tak lagi mempesona. Tanpa kejelasan, air mata pun akhirnya kau teteskan.

Engkau menangis bukan karena lelaki yang pernah meninggalkan mu ke pulau seberang, yang kini telah datang. Ternyata engkau menangis karena pria sejati yang hatinya kau tambat namun tak terjawab. Lelaki yang telah mengenalkan sakitnya arti kecewa mencintai sesama. Lelaki yang mencintai seorang gadis, yang tak lain dan tak bukan kekasihnya itu sahabat mu sendiri. Engkau mencintai kekasih teman sejawat, ibarat pagar hendak makan tanaman. Engkau telah berusaha mengelakkan, namun hati tak dapat dibohongkan. Engkau terus menangis karena merasa sakit untuk diceritakan. Aku turut bersedih namun harus bisa menahan untuk dapat fokus mendengarkan .


*****

Setelah beberapa lama, sandal jepit yang ku kenakan sepertinya terasa menyakitkan. Saat duduk santai dipelataran rumah yang lantainya mulai banyak kebobolan. Diantara lengkungan karet yang menancap pada alasnya terdapat serpihan tajam tak beraturan. Aku menggeliat mengubah posisi kaki, karena tak mau tersakiti. Menyita waktu merapikan sandal jepit tersayang agar nyaman untuk dipakai.

Tiba-tiba, teringat pada suara mu dibalik handphone murah ku beberapa hari yang lalu, yang telah tampak ceria. Engkau sudah sedikit demi sedikit melepaskan goresan hati yang pernah perih. Selain karena engkau mengadu pada Tuhan, luka itu telah sedikit terjahit dengan keceriaan kita berkenalan. Walaupun beberapa kali engkau sempat mengalirkan air dipipi ketika kita larut dalam obrolan. Itu bukan karena aku menyakiti, namun karena aku mengajak mu lebih dewasa dan lebih memahami makna hidup yang sebaiknya-baiknya. Kita seringkali terlibat saling menyarankan, hingga semuanya tanpa terasa berjalan dengan nyaman. Tak ada rasa dihati mu walaupun aku selalu tersipu.

Selayang pandang, pekat malam terhias bias terang, kita menutup perbincangan lewat pesan singkat yang saling berbalas.

“setelah sekian lama aku mengadu pada Tuhan disaat malam, sambil aku menata hati, aku telah mulai ingin membuka diri. Mulai hari ini, dengan keikhlasan yang telah hadir, mengajar ku untuk kembali membuka tabir” isi short message mu di mata ku.

“syukur, semoga itu sebuah jalan, untuk mencapai sempurnanya keikhlasan. Ikhlas adalah kemampuan menerima dengan lapang dada atas sebuah peristiwa yang membuat kecewa” balas pesan ku.

Cantik rembulan diatas atap, tak jua mata ku ingin terlelap. Tadi siang aku telah berjanji pada mu, untuk menuliskan sebuah cerita tentang mu. Walaupun kau tampak ragu, namun aku berhasil meyakinkan mu. Nama mu tetap ku rahasiakan, tak boleh aku sebutkan. Aku hanya menulis sepenggal hati mu, sebuah nama yang telah terbingkai dalam hati ku yang paling dalam. Engkau, seorang gadis berkerudung putih yang kutemukan, dalam kesederhanaan dan kebersahajaan.

Aku duduk diam-diam, rasa ngantuk ku tahan, meskipun air mata mengalir keletihan. Menyelesaikan cerita mu bagi ku sebuah kewajiban, karena janji harus ditunaikan. Sambil melihat jam tangan yang melingkar, aku selesaikan alenia terakhir tentang sejengkal jalan.

Engkau kini telah bisa terlelap dan makan yang lahap. Dengan menyimpan sekeping hati, kau menjalani untuk menemukan sosok pengganti. Engkau telah ditawan dengan seabrek kesibukan dari terbit matahari hingga tenggelam diufuk malam. Mulai sepi guratan kesedihan yang terdengar dari obrolan, walaupun aku tak tahu yang sebenarnya. Gadis, benarkah engkau telah mengikhlaskannya, atau engkau sedang berpura-pura?

Selepas menyimpan sandal jepit yang mulai kembali nyaman bila dikenakan, mata ku tak lagi bisa menahan, ku akhiri saja cerita ini dengan permohonan. Maaf gadis, jika cerita ini tak mewakili hati mu, sehingga tak enak untuk dibaca, apalagi bila dieja…


Usai Bola Dipelupuk Mata

Subuh, Pertama Engkau Yang Ku Sapa

10032010                            05.29 Wib

Sabtu, 06 Maret 2010

Ibu, Ku Lukis Wajah Mu...

Sambil menghadap kiblat
Ku tatap monitor bersahabat
Melukiskan kasih seseorang yang telah beristirahat
Yang telah mengantarkan ku dengan selamat
Ibu, aku merindukan mu….

Darah yang mengalir dari air susu cinta mu
Wajah yang merona dari belaian kasih mu
Kesehatan yang sempurna dari rawatan sayang mu
Hati yang bernurani dari keikhlasan rejeki mu
Akal yang berfikir dari ketulusan pesan mu
Ibu, aku merasakan itu…

Pada ku, engkau pernah bercerita…
Rabu siang kau lahirkan bayi bernyawa
Dengan jenis kelamin pria
Berteman seorang dukun kampung kau taruhkan nyawa
Sebagai anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara
Tanpa banyak kesulitan kau melahirkan dengan segera
Ketika ayah sedang berada di huma
Ketika saudara ku yang lebih tua sedang membantu bekerja
Aku pun lahir kedunia.
Ibu, aku masih merekam cerita mu...

Nakal masa kanak ku
Tentu sangat menyusahkan mu
Rengek dan ronta kebiasaan ku
Hingga bila ayah memukul ku
Engkau diam membisu tanda tak setuju
Ibu, aku tahu maksud mu...

Engkau selalu mengharuskan ku untuk datang mengaji
Agar kelak aku bisa mengirimkan fatihah dan yasin jika jasad mu telah didalam bumi
Engkau tak pernah bosan bangunkan aku untuk segera ke sekolah
Agar kelak aku bisa hidup dengan hati dan fikiran yang terasah
Setiap aku pulang dari sekolah dan madrasah
Engkau sudah pasti sedang berada di sawah bersama ayah
Bekerja dengan tekun tak pernah lelah
Pergi pagi, menjelang maghrib engkau baru tiba di rumah
Dari tangan mu aku lihat tempat makanan, mukenah dan sajadah
Ibu, segar masih diingatan ku...

Saat sekolah menengah pertama aku mencoba membantu
Mengarit rumput dan menjualkan hasil torehan karet mu
Bekerja mengaspal jalan setiap sabtu dan minggu
Mengangkut padi hasil panen itu juga kadang tugas ku
Menggiling hasil panen di sawah sering ku luangkan waktu
Sejak itu aku tahu betapa berat pundak mu
Namun tak pernah aku mendengar engkau mengeluh
Hujan dan panas hanya caping dan dangau tempat mu berteduh
Jika puasa tiba, engkau sangat bangga pada ku
Ketika suara tartil ayat Quran ku di masjid mendayu menghampiri telinga mu
Walaupun engkau tak pernah langsung memuji ku
Namun aku dengar kebanggaan itu dari saudara ku
Ibu, Aku menyaksikan dan mendengar semua itu...

Saat aku disekolah menengah atas, kelas satu
Tidur di surau dan masjid kampung kebiasaan ku
Kadang alpa sekolah engkau pun tak tahu
Hanya bertanya kenaikan kelas jika libur panjang bertemu
Namun aku tetap mencoba membantu mu
Menjadi tukang ojek kegiatan sambilan ku
Sepulang sekolah langsung ganti baju
Hasilnya aku serahkan semuanya pada mu
Sambil menanti kemurahan mu memberi pada ku
Untuk keluar jalan malam minggu
Ibu, engkau selalu mengerti aku...

Ketika sebuah peristiwa itu tiba
Aku bersama mu dalam nuansa yang nestapa
Engkau tampak menua
Dengan mulai banyaknya penyakit yang mendera
Namun aku tak pernah terlena
Menjual koran untuk membantu mencukupi kebutuhan kita
Sebuah cobaan dari Tuhan yang tak pernah disangka
Saat aku mencoba menyelesaikan sekolah menengah yang sempat terputus
Engkau mendorongku agar segera diurus
Hingga aku mendapatkan ijazah tanda lulus
Ibu, engkau sangat tulus pada ku...

Saat aku hendak mendaftar kuliah
Aku minta izin pada mu dengan berbekal ijazah
Bersama satu kemeja dan dua buah celana berwarna biru dan satunya coklat agak merah
Engkau hanya bisa pasrah
Mungkin engkau merasa bersalah
Tak bisa lagi membiayai ku karena mendapat musibah
Namun karena aku telah minum air susu mu, aku mengerti makna pantang menyerah
Aku pun menjalani semuanya tak kenal lelah
Ibu, Pada Allah engaku berdo'a untuk ku...

Ibu…
Aku merindukan cerita mu tentang nenek moyang dan leluhur kita
Aku merindukan cengkerama mu bersama saudara selepas isya
Aku merindukan pelukan mu disaat dinginnya malam tiba
Aku merindukan pesan mu bila kita duduk bersama
Aku merindukan senyum mu saat kita makan sekeluarga
Aku merindukan belaian mu bila aku tertidur dipangkuan
Aku merindukan teguran mu dikala aku berbuat kesalahan
Aku merindukan pembelaan mu dengan diam dikala ayah menghampiri ku dengan rotan
Saat ini, aku merindukan semua yang ada pada mu…

Ibu…
Dalam kebutaan aksara karena sejak balita telah ditinggal kedua orang tua
Engkau telah menyadarkan aku untuk membaca dunia dan isinya
Dalam keseharian sebagai petani yang bekerja di huma
Engkau telah mengajarkan ku untuk bersahaja dan sederhana
Dalam segala keterbatasan yang penuh kejujuran dalam berkata
Engkau telah mendidik ku untuk mengatakan tentang kebenaran dan maknanya
Dalam keluarga yang besar tak mengenal keluarga berencana
Engkau telah mendidik ku untuk saling membantu sesama
Dalam kehidupan yang tidak bergelimang dengan harta
Engkau telah mengajarkan pada ku untuk hidup apa adanya

Ibu…
Aku tepat di samping mu saat maut menjemput
Dengan tenang kau tutupkan mata dan rapatkan mulut
Ada bekas air dimata mu setelah nyawa tiada
Sebagai tanda manusia bahagia diakhir hayatnya
Sebagaimana ungkapan Imam Ghazali dalam karyanya
Jasad mu dimandikan oleh ku bersama saudara yang lainnya
Perlahan dengan lembut aku turut mengkafani, lalu mendirikan shalat
Memikul mu hingga menuju ke liang lahat, membaringkan mu menghadap kiblat
Bertemu Allah Yang Maha Hebat

Ibu, kadang mengalir sungai di pipi mengenang saat…
Menyuapkan mu setiap subuh sejak menjadi pesakitan
Mengangkat tubuh renta mu ketika hendak ke peraduan
Memapah mu berjalan menuju tempat pemandian

Ibu…
Ku cuci kaki mu dengan kembang tujuh rupa
Semoga aku menjadi anak yang berguna
Selalu do’a ku panjatkan untuk mu pada Yang Maha Esa
Dan setiap aku pulang waktu luang, aku tak pernah lupa ke pusara
Membaca yasin dan tahlil dengan tartil ku yang engkau suka

Ibu…
Diantara kita selalu ada cinta
Dalam untaian tangan yang penuh bahagia
Jika manusia boleh menyembah sesama
Maka hanya engkau yang utama untuk ku puja


Merindukan mu…
Menjelang 3 tahun berpulang!
Kamar gelap, 21 Januari 2010

Mengapa Aku Menulis?


Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Tercantum sebagai penulis dalam sebuah kolom yang diterbitkan salah satu media. Tentu, itu tak sekali, namun engkau lupa pastinya berapa kali, sebab hari-hari mengantarkan mu pada ingatan yang diajak pada kelupaan. Tulisannya sempat menarik perhatian mu, walaupun membacanya seringkali tak sampai tuntas, hanya selintas, namanya saja yang membekas. Sempat kau bertanya tentang nama penulis itu pada beberapa orang, namun tak juga pernah engkau mendapat jawaban yang sempurna. Kebanyakan dari mereka yang kau tanya memberikan jawaban yang berbeda. Ada jawaban yang menerka-nerka, atau menyebutkan seenaknya, bahkan ada yang menjawab dengan mengernyitkan dahi saja, pura-pura mengenalnya. Rasa keingintahuan tentang pemilik nama itu pernah menjadi pikiran mu sementara, namun selalu hilang setelah kau pejamkan mata. Setelah datang pagi, pikiran mu tak lagi berdiri tentang sosok itu lagi, pasti telah berganti dengan pikiran baru yang datang menjejali.

Engkau bukan penulis seperti dia, hanya anak jalanan yang pura-pura berwawasan. Kalaupun engkau menulis, itu sekedar menyampaikan ketidaktahuan atau menerka-nerka dengan mengutip sana-sini apa yang disampaikan orang-orang pintar, agar engkau terlihat gagah punya pemikiran. Ah, tak pernah perduli kau pada anggapan orang yang tahu bahwa tulisan mu penuh dengan copy-paste. Kau cuek saja dengan bergaya intelektual padahal tulisan mu berbaris gombal. Kalau ada komentar miring tentang tulisan mu, kau selalu membela diri, bahkan merasa pintar sendiri. Menulis bagi mu sesekali, saat engkau tak punya kerja, karena mengharapkan honornya saja. Kadangkala honornya kau biarkan, tak kau hiraukan kalau masih punya simpanan, namun bila disaku sisa koin recehan segara engkau ke redaksi seperti orang menagih utang. Jika tulisan mu terbit, segera mungkin engkau sibuk menggunting koran, untuk arsip ucap mu kegirangan, bagaikan dokumen perjuangan dirasakan, sungguh kepongahan. Kadang, engkau menulis karena tak dapat memejamkan mata tentu tak berbobot isinya, atau sedang habis membaca sebuah karya yang kau anggap luar biasa, padahal bagi orang-orang sekitar mu referensi itu biasa-biasa saja.

Kembali pada hasrat mu untuk mengenalnya, tak jua kau temukan jawabnya. Siang diselimut malam, malam ditutup bulan, bulan habis berhitung tahun, tahun lepas berganti baru, belum pula kau melihat sosoknya. Media yang memuat namanya sudah jarang kau baca, karena engkau telah berhenti berlangganan. Alasan mu karena media itu hanya lebih mengutamakan kolom iklan daripada berita, padahal sesungguhnya kau berhenti karena loper koran tak lagi mengantarnya. Engkau sering menunggak untuk membayarnya. Bahkan kabarnya, dua bulan terakhir jika ditagih kau selalu pura-pura lupa menyimpan uangnya. Hingga pengantar koran pun berkesimpulan memecat mu menjadi pelanggan. Itu membuat mu tak lagi pernah membaca tulisannya, atau memang dia sudah tak lagi menuliskan gagasan atau pikirannya.

Selayang pandang, waktu berjalan lepaslah ia dari ingatan, penasaran hilang dalam pingitan, kegelisahan terjerembab dalam kesibukan. Walaupun kesibukannya hanya pura-pura agar terlihat sama dengan manusia yang benar-benar sibuk pada profesinya. Engkau melanglang buana, sembilan puluh sembilan persen tak lagi mengingatnya. Tiba-tiba, entah hari apa engkau menelpon seorang sahabat yang belum lama dikenal, bahkan hanya dua kali engkau bersemuka. Bertanya kabar dan berbasa-basi lainnya sambil tertawa. Lalu sahabat mu penuh canda ingin mengenalkan temannya, yang katanya juga seorang penulis seperti mu. Engkaupun segera mananyakan namanya, dan tanpa curiga teman mu menyebutkan sebuah nama. Memori mu bekerja mengingat nama itu, mengorek semua nama yang pernah kau baca dimasa lalu, dan memori mu mengingatnya bahwa pernah mencarinya. Segeralah kau minta nomor teleponnya, dan selepasnya kau segera mengirimkan pesan singkat pada dia, nama yang baru saja kau mengingatnya, pernah terekam sekian lama.

Pesan singkat mu bagikan professor tersohor, sambil menyebutkan nama engkau menyampaikan bahwa engkau seorang penulis yang pasti dikenal olehnya. Dia pura-pura mengenal, mungkin karena tak mau membuat mu malu jika mengatakan tak pernah membacanya. Lalu, hampir menjelang maghrib kau memberanikan diri menghubunginya, mendengarkan salamnya, dan bercerita dengan mengaku diri sebagai penulis. Engkau segara mengatakan bahwa telah lama mencari namanya, namun itu dulu saat jemu belum menghantui karena letih dan lesu mencari namun tetap misteri. Suara disebarang sana mengiyakan dengan keramahan dan canda kecil yang disuguhkan. Hingga kau lupa bahwa adzan maghrib sedang berhembus menuju telinga. Tit, tombol off kau tekan setelah salam penutup kau sampaikan. Tampak berbinar mata mu, tampak riuh gemuruh dada mu karena nama yang pernah dicari kini telah bicara tanpa bersemuka. Ah, tentu tak penting bagi mu, karena suara lebih bermakna daripada bersemuka tanpa mengenalnya.

Namanya kau rekam di dunia maya, berteman dengannya. Setiap waktu luang engkau online selalu melihat diarinya, membaca apa yang sedang difikirkannya, jika berkenan kau mengomentarinya, meskipun hanya bercanda. Tulisannya yang tersimpan dalam seboah blog habis kau baca, kau menyelami sajaknya, kau pahami artikelnya, kau resapi catatan kecilnya. Tak ada kata dari pikiran dan hatinya yang kau lepaskan dari sorot mata, karena jika lepas satu huruf saja bisa beda kau memahaminya. Tulisan-tulisannya yang berkemas, menyampaikan kabar tersendiri tentangnya, walaupun kau belum pernah bersemuka. Ada yang asik dari cara dia membakar semangatnya, merenungkan perjalanan, menyusun rencana, dan mengoreksi dirinya. Hingga ada beberapa judul yang kau ulang membacanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Bukan karena apa, karena engkau terpesona dengan cara dia mengungkapkannya. Semuanya tampak indah walaupun setiap mata atau rasa berbeda dalam meresapinya. Namun, bukankah keindahan adalah nilai tertinggi dari kehidupan manusia?

Tetes hujan berjongkok dipelataran, saat pesan mu masuk padanya untuk bersemuka, namun tak ada jawaban engkau dapatkan. Gelisah tentu kau tunggu jawaban, penasaran berburu, toko buku janji bertemu. Pesan yang dikirim terbalas sudah, tinggal waktu saling tanya untuk mencari masa bersama. Semua berjalan ikuti irama rencana, perlahan tanpa terasa, kau menginjakkan kaki disana, duduk sendiri menunggu kedatangannya. Biografi tebal tentang seorang tokoh pejuang kau letakkan dipangkuan agar engkau dikira pemikir, padahal jika dirumah untuk menyisihkan waktu membaca buku engkau paling kikir. Duduk dengan menyilangkan kaki penuh keseriusan, padahal hari-hari mu hanyalah diisi dengan canda dan gurauan. Engkau kembali berpura-pura, kemarin menulis dengan berpura-pura, sekarang pura-pura membaca, entahlah bisa jadi esok engkau akan pura-pura gila….

Pertemuan mu dengannya penuh obrolan, dari tuturan terlambat datang hingga menjawab teka-teki yang tak silang. Melupakan kesopanan, engkau makan duluan, karena tak bisa menahan lapar. Dengan alasan ingin merasakan tempat makan baru, padahal cacing perut mu sedang menderu. Dia tersenyum saja dan memaklumi kelaparan mu, bahkan dia rela menunggu sambil menghindar dari lambaian asap rokok mu. Layaknya pelayan yang menyajikan dengan cepat, engkau mengunyah nasi dan ikannya secepat kilat, hingga dipiring tersisa tinggal tulang belulang yang mengkilap.

Sisa sepenggal lagi kisah mu, karena ruang yang tersedia sungguh terbatas. Engkau berjalan pulang. Sesekali engkau mencuri pandang, karena untuk menatapnya dengan sempurna engkau tak pernah berani sebenarnya. Kalaupun engkau punya nyali, dia belum tentu mau, karena paras mu tak memiliki rona, apalagi untuk terlihat sedikit saja bercahaya. Itu bisa jadi, walaupun tak ada bukti. Hambat waktu, tak ada kenang jika membisu, engkau tersenyum tersipu malu, namun hati menjadi ragu. Penuh tanya, benarkah itu sosok yang pernah kau cari namanya? Setelah bertemu, entah karena apa sebabnya, engkaupun bingung pegang kepala.

Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Sederhana, dengan sebanyak jari tangan kau bisa menuliskan namanya, dengan selebar telapak tangan engkau dapat lukiskan ranum wajahnya, Dan hanya dengan baris terakhir tangan mengirim pesan engkau telah menemukan keyakinan dalam sebuah pencarian.

Mengapa aku menulis?
Jawabnya untuk mengingatkan mu, bahwa:
Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama…


Pagi Yang (Tak) Jadi Tidur
Cara unik menertawakan kita sendiri…..
11 Februari 2010

Selasa, 23 Februari 2010

Mengapa Engkau Terlalu Baik?


Pesan singkat dari mu selalu ku nanti, untuk sebuah isyarat yang berarti. Gadis, engkau mulai menghafalkan jalan pergi, semoga Tuhan selalu mengingatkan mu bahwa aku masih disini. Maaf, semoga ini bukanlah sebuah kesalahan, karena aku mengatakan sebuah keyakinan…….

***

Awalnya, engkau ku kenal melalui abjad yang berserakan dikoran, yang ku ambil satu persatu untuk ku susun menjadi sebuah nama. Ku cari nama itu, walaupun tak pernah ku temui. Mencari sebuah nama dalam kota kecil yang sampahnya berserakan dimana-mana. Hingga pupus ku menemukan mu tiba, dan aku hanya menjadi penanti sebuah nama, perlahan aku melupakannya, karena ingatan yang menuju senja. Nama itu mampu ku ingat setelah disebut seorang sahabat. Dari sebuah nama menjelma dalam bentuk suara yang ku dengar, dari sebuah speaker kecil yang katanya madein Firlandia.

Lepaslah cerita pertama bertatap muka, hingga selanjutnya. Kita sering berpesan singkat dan bercerita lewat suara. Banyak hal yang kita bagi mulai dari pikiran, saran, kritik atau bahkan sekedar canda tawa yang mungkin tak berarti apa-apa. Tanpa sengaja beberapa kali engkau menitikkan air mata. Engkau mengatakan, bahwa aku hanya membuat kesedihan pada mu. Tentu, kau sah menganggap ku begitu. Karena sejak kita kenal, telah tiga kali kau gagal mempertahankan air untuk tetap berada di dalam mata, buncah tumpah meluah.

Kemarin aku melihat tulisan mu di dunia maya, yang beberapa kalimatnya sempat ku tanyakan lewat chatting kita. Aku bertanya karena engkau mengajak ku membacanya, sehingga pantas jika aku bertanya untuk mengetahui makna sebenarnya. Dalam titik dan koma yang kubaca, aku begitu bahagia, karena tulisan mu mulai tampak merona, hidup. Perlahan kau sudah melintasi ruang keterpurukan dan kembali bangkit untuk membuka diri pada sesama. Oh ya, aku lupa, engkau menjelaskannya dengan sederhana hingga aku mudah mengertinya.

Selepas maghrib aku duduk dipelataran. Aku makan sendirian dengan nasi bungkus yang dibelikan seorang teman. Mengandalkan cahaya bulan karena rumah gelap tanpa penerangan. Lalu, aku ingat pesan Konfutze bahwa lebih baik menyalakan seutas lilin daripada mengumpat kegelapan, dan itu ku lakukan. Nikmat ku mengunyah makan sambil ditemani senda gurau yang kau kirim lewat pesan. Kita berkelakar tentang kemampuan menggoreng ikan. Saling membalas pesan pun terus berlangsung hingga rasa lapar telah terlunaskan.

Aku duduk bersama teman-teman dan tertawa tentang menjodohkan dua insan yang tampak malu-malu dan sedang duduk dihadapan kami bersama. Dua anak manusia itu tersipu malu-malu, dan semakin kencanglah ocehan diantara teman-teman yang ingin menjodohkan. Aku terlibat didalamnya, sambil berbaring membalas pesan singkat mu dengan apa adanya. Lama-lama pesan singkat yang diawali dengan senda gurau berubah menjadi sebuah keseriusan. 

Kita terlibat pembicaraan tentang keinginan untuk sebuah masa depan. Kau mengatakan rasa yang tak sempurna tentang kehadiran ku yang membawa nuansa jiwa. Engkau masih terus membalas pesan ku dengan bertanya mahar yang bisa ku tepati dengan diakhiri tanda kau bercanda. Dan aku menawar mahar yang kau pinta sambil terus terlibat canda tawa dengan mereka yang terus menjodohkan sepasang manusia. Pembicaraan kita mulai lain setelah kau meminta ku untuk belajar mencintai orang lain. Dengan sejujurnya aku berkata bahwa aku tak bisa, karena keyakinan sudah tak bisa ku elakkan.

Obrolan perjodohan yang diawali dengan canda tawa berubah menjadi kekesalan diantara salah satunya. Langkah ku menghindar dari ruang bersama menuju kesendirian. Aku melepaskan letih dalam kamar yang gelap, dikala listrik dikota ku sering tersendat. Ada pesan yang ku terima dalam sebuah handphone usang yang ku pegang, seutas kalimat yang tak ku ketahui rasanya saat kau menulisnya, dan aku hanya membisu saat membacanya “Kenapa abang ni terlalu baik?” itu pesan sederhana mu yang tak dapat ku jawab dengan sempurna.

Pesan mu itu sulit untuk ku jawab, karena menyangkut kekuatan fikiran dan hati yang terus diuji. Aku hanya bisa menuliskan kekuatan itu sebagai balasannya. Pesan mu sudah didepan mata, bahwa untuk tidak lagi menjalin sebuah komunikasi sebagai solusi. Ajakan itu karena kebaikan mu sebagai gadis yang tak bisa melihat ku kecewa pada nuansa. Aku berpasrah atas keinginan yang kau ucapkan, karena aku menanamkan keikhlasan yang terus berjalan. Aku tak menyalahkan mu, mungkin aku datang pada waktu yang telat atau pada waktu yang begitu cepat, atau sebagai orang yang kau anggap tak tepat.

Engkau gadis yang terlalu baik, tercermin dari pesan mu yang dikirim pada ku, engkau tak mau terlalu jauh, dengan kau memilih langkah untuk menjauh. Aku tak tahu, apa yang ada dipikiran mu yang sebenarnya, bisa jadi engkau takut untuk diuji, atau engkau khawatir lolos dari ujian itu. Entahlah, aku masih menunggu pesan singkat dari mu….

***

Maaf, jika saat menulis ini aku mengirim pesan singkat tentang subuh yang teduh. Walau ku tahu pesan itu tak mungkin lagi berbalas, namun aku menekan nomor mu dengan ikhlas…..


Gelap, izinkan aku menatap
23 February 2010

Minggu, 21 Februari 2010

Cinta Itu Sekali, Sahabat Ku… (Cerpen)


Engkau datang ke kota tua untuk menimba ilmunya, mendengarkan dongengnya, dan mempelajari budayanya. Semangat mu kala itu sungguh menggelora, banyak perpustakaan kau kunjungi dengan bermodalkan kerangka besi tua yang seringkali menyusahkan mu ditengah kebisingan jalanan. Tak ada saudara atau bahkan teman sekalipun ketika pertama kali kau injakkan kaki disana. Bermodalkan keinginan, engkau datang bersama sejuta harapan. Kau tampak sangat kalem untuk ukuran seorang pria kekinian, supel dan bersahaja. Tak ada keinginan yang berlebihan untuk bergaul ala kota tua, kau asing dengan namanya pergaulan bebas, bahkan tak pernah kau pahami seperti apa bentuknya. Perlahan-lahan engkau pun mulai mengenal dan dikenal oleh teman-teman yang datang ke kampus untuk belajar. Bersamaan dengan perkenalan itu pula maka mulailah cerita hati itu kau lukiskan.

Saat enam bulan pertama engkau tampak gelisah di kota itu, karena hanya sibuk dengan rutinitas layaknya menempati sebuah kota baru, menghafal jalan sambil mencari rumah kontrakan. Tentu itu tak menyenangkan, hingga kau beli peta kota untuk bisa berjalan dengan penuh panduan. Engkau masih canggung terhadap budaya lokal dan keramahan yang ditawarkan, termasuk keelokan para gadisnya. Selanjutnya, perlahan namun pasti kau berkenalan dengan banyak orang dan para gadis yang penuh senyum kembang rupawan. Satu persatu kau jabat tangannya seraya saling menyebutkan nama dengan rupa yang merona. Tampak banyak gadis yang menjabat tangan mu mulai akrab berbincang, jalan bersama, bahkan tak luput kau diundang untuk datang pada pesta yang diadakan oleh salah satu dari mereka. Engkau pun mulai betah berada di kota tua itu, sambil penuh senyum, engkau pun tebarkan pesona yang penuh misteri. Kau tampak alim dimata banyak wanita, yang perlahan-lahan kau jebak hati mereka untuk ingin selalu bersama.

Di kampus kau tampak lugas, berpendapat dan penuh semangat didalam kelas. Diluar kelas, kau selalu bisa menyesuaikan pembicaraan walaupun nada mu santai perlahan. Dengan kelembutan mu kau tarik hati para wanita pada perangkap misteri yang kau miliki. Bahkan tak jarang dari mereka merebahkan tubuhnya dihadapan mu seraya mendesah penuh pasrah. Para gadis itu mulai rindu akan rayuan mu, kebohongan dan atau kegombalan mu yang tak pernah mengungkapkan cinta pada mereka semua. Kau hanya memberikan perhatian yang baik, dan selalu hanya berujar tentang kasih dan sayang, yang mereka maknai bahwa kau mencintainya. Engkau tampak bahagia pada semua yang berjalan, pada dimana kota tua itu tak lagi membosankan bahkan sangat mendamaikan hati mu dengan kemesraan.

Semuanya berjalan melampaui yang kau harapkan, ada nuansa baru yang membuat mu tak lagi menggerutu seperti dulu. Kau kini tak hanya sibuk bicara tentang makalah dan buku melulu, namun telah disibukkan dengan jadwal mesra bersama bunga yang bergonta-ganti parasnya, tingkahnya dan keeratan pelukannya. Kau sibuk menyusun alasan jika diajak kencan oleh dua gadis atau lebih secara bersamaan. Kau menjadi laki-laki yang tak tahu apa gunanya setia dan makna cinta, bahkan untuk mengeja dua kata itu saja, engkau tak bisa.

Engkau menikmati perjalanan yang memuaskan nafas mu, sebagai laki-laki yang banyak diminati. Hampir tak ada halangan berarti dalam usaha mu untuk memikat hati para gadis yang baru engkau kenal, atau sekali pandang menarik bagi mu untuk ditaklukkan. Tak ada yang begitu ruwet atau membutuhkan pengorbanan yang berlebihan, semuanya kau atur semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan jika kau bosan kau lupakan tanpa ada keputusan, cukup menghilang dengan alasan sejuta kesibukan. Hampir semuanya berjalan sesuai apa yang engkau rencanakan dalam urusan menaklukkan hati kaum hawa ini. Dengan pembawaan yang santai, mulai banyak para gadis yang jatuh terkulai dipelukan mu yang mereka rasakan damai. Hingga, pada pertengahan jalan kau temukan bunga yang semerbak wanginya, namun kau tak menyadarinya, bahwa suatu waktu hati mu akan menangis karena kehilangannya.

Bunga itu hanya kau jabat tangannya, seperti biasa saling menyebutkan nama. Bagi mu ia bukan bunga yang kau cari, karena ia biasa saja, ala kadarnya. Gadis pembaca itu kau jadikan teman sejawat, penuh obrolan tanpa rayuan, penuh diskusi tanpa kompromi, penuh alasan tanpa perasaan, setulusnya menjadi teman untuk belajar, layaknya teman pria. Tak ada ungkapan perasaan walaupun engkau berjalan berduaan, semuanya tampak biasa saja, bahkan gadis itu tahu bahwa engkau laki-laki yang banyak simpanannya. Walaupun gadis itu sering menasehati mu, engkau tak pernah ambil tahu, bahkan pura-pura malu meskipun sejuta alasan tetap kau lampirkan dalam pembicaraan. Kau tetap menjalankan agenda menjerat hati wanita yang mempesona, namun gadis yang sedang akrab dengan mu itu tak mau ambil tahu, ia tetap berperan layaknya saudara meskipun mulai ada tetesan rasa dihatinya. Engkaupun mulai tampak serupa, mulai merasa bahwa gadis itu sosok yang mengimbangi ronta kenakalan mu.

Dituntun waktu yang terus menggeliat, gadis itu hanya bisa menyimpan rasa yang berusaha dilawannya. Dia terus melawan rasa yang ada, ketika dihadapannya dia selalu yakin bahwa engkau laki-laki yang sulit untuk berubah dengan hatinya. Dia sadar bahwa laki-laki seperti mu tak bisa diajak untuk bicara tentang cinta dan rumah tangga. Gadis itu tak mau membiarkan dirinya terjebak dalam pelukan laki-laki yang tak pernah mengerti arti kesetiaan. Hingga waktu pun akhirnya mengantarkan si gadis untuk memutuskan, melangsungkan perkawinan, tanpa mu sebagai pasangan. Engkau hanya tersenyum ketika gadis itu menyampaikan niatnya, hidup bersama laki-laki lain yang dikenalnya dengan mengayam mahligai baru. Engkau mempersilahkan tanpa ada beban sedikitpun seakan penuh keikhlasan. Dan berlangsunglah perkawinan itu dengan beribu kemeriahan serta senyuman yang terhias dipelaminan. Engkau hadir ditemani rasa kebahagian seperti semua undangan. Sahabat yang selama ini dekat telah pergi dengan jari yang terikat untuk sehidup semati bersama pria yang dipilihnya, setelah ketidakjelasan sikap mu. Setelah pesta pesta itu usai, engkau masih terus sibuk dengan rutinitas seperti biasa, menemui para selir yang selalu menanti, bahkan ada yang sanggup mati demi dimiliki.

Seiring dengan usainya masa mu menuntut ilmu, engkau bungkus semua pakaian dan kenangan berjalan pulang ke desa mu. Meninggalkan kota tua itu dengan sejuta kalbu dimana disanalah engkau laksana pangeran muda, yang kasih sayang terhadap para selirnya hanya cukup basah dibibir saja. Engkau pulang dengan meninggalkan kehangatan yang terus membekas dihati mereka yang pernah merasakannya. Bahkan engkau pulang, dengan dibekali air mata mereka yang selalu berharap pintunya diketok oleh mu. meski ditengah malam buta. Dan engkaupun terus melangkah pulang...

Kemarin, aku menerima telepon dari mu dipagi hari buta. Kau mengatakan sedang ada dikota ku untuk sebuah kerinduan. Aku bahagia dan berusaha menemukan mu, namun aku tak bisa. Berselang beberapa pergantian siang dan malam engkau kembali mengirimkan pesan singkat untuk bertemu dengan ku, dan aku menyanggupi tanda setuju. Malam mulai menenun kegelapan, dan kita mulai menginjakkan kaki di sebuah warung kopi, engkau hadir telat karena tempat yang tak lagi kau ingat. Dibawah lampion merah kita bercerita, bercengkerama tentang nostalgia, politik, akademik, sahabat, cinta dan segala yang ada pada diri kita berdua. Dan tentang gadis itu yang kau sebut namanya dengan penuh arti, hingga aku paham tentang apa yang ada dihati mu saat ini. Pikiran ku bergerak dan aku tahu makna kehadiran gadis yang satu itu di kota tua bagi mu, engkau daulat dia sebagai sahabat, padahal dialah puja hati yang sebenarnya. Engkau selalu menepis makna kehadirannya hingga akhirnya ia memilih jalannya, melupakan rasa sesungguhnya. Dialah wanita yang sanggup menjinakkan hasrat mu.

Diusia yang mulai memasuki paruh baya, engkau mulai sadar makna hadirnya silam yang penuh cinta. Bunga yang awalnya engkau anggap biasa, ternyata semerbaknya harum mewangi setelah ia pergi. Engkau tampak keletihan dalam untaian cinta sejati yang telah kau lepaskan berlari. Dalam guratan rona mu yang ku terima engkau tampak menyesalinya. Kita lepaskan semua cerita masa lalu hingga bulan ku lihat tertunduk malu, bersinar dengan redup karena hati mu sedang berkabut.

Tanpa sadar, kita duduk dicumbui keremangan bulan, segera engkau lepaskan kenangan, karena gadis di kota tua itu kini telah menjadi ibu, yang telah melahirkan….

Seutas racikan tembakau menyala terjepit ditangan kanan. Untuk sebuah jalan yang panjang, kita reguk kopi perlahan. Maaf kawan, jika sedikit pahit kopi yang ku pesan, karena aku menyesuaikan dengan pengalaman yang kau kisahkan...


Gajah Mada, February 2010

Jumat, 19 Februari 2010

Tanpa Sengaja

Jum'at yang manis
dikunjungi waktu yang mengiris
dari canda tawa menjadi gerimis
dari ruang yang sempit aku berkata
tanpa untuk disengaja
Maaf, aku tak bermaksud
membuat hati mu kusut
apalagi untuk membentuk larut

Dalam canda yang ku niatkan
tertumpahlah lahar yang terpendam
yang selalu kau simpan diam-diam
hingga kau tak sanggup menahan
bayang-bayang yang mengejar
merebahkan kekuatan diri yang tampak tegar
hingga engkau baru sadar
bahwa ikhlas mu sebatas kabar
menghardik sabar

mungkin, wajar engkau marah pada ku
tapi perlu engkau tahu
bahwa canda ku menemukan kesadaran baru mu
pada suatu waktu
diruang yang bisu 

Canda yang berlebihan, katanya...
19 Februari 2010

Jumat, 12 Februari 2010

Tanpa, Aku...


Izinkan Tuhan
aku duduk sendiri
menengahi pikiran dan hati
disini
tanpa kata, karena suara tak mewakili jiwa
tanpa tulis, karena abjad dilunturkan gerimis
tanpa gerak, karena semangat tak lagi menghentak
tanpa renung, karena waktu tak bisa membendung
disini
menengahi pikiran dan hati
aku duduk sendiri
Bolehkan Tuhan?

Dulu, Aku dan Ayah...

Aku tulis puisi ini dalam ruang sepi
hanya bunyi tuts menemani sendiri
ingat paras mu yang penuh cinta
ingat rona mu yang bertabur upaya

Dulu...
sejuta pesan kau ucapkan
beribu nasehat kau lafadzkan
namun lepas ku biarkan
dan bahkan sengaja ku lupakan
ku anggap dogma
ku anggap itu cerita
yang telah berbeda zamannya

Dulu...
perintah mengaji aku anggap paksaan
hadir kesekolah itu penyiksaan
sering aku membangkang
atau baru tiba saja segera pulang
penuh amarah kau meradang
dibarengi ayunan rotan sebatang
setiap pukulan bersarang
aku anggap engkau tak pernah sayang

Dulu...
suatu kali saat pulang sekolah dasar kelas satu
sebilah pisau ku todongkan ke leher mu
hingga kau diam penuh membisu
disaat aku marah akan perlakuan mu
disaat hati ku bertukar nafsu
engkau diam
tak ada perlawanan
hingga aku mengantuk sendiri
dan tertidur pulas diatas kursi
pisau engkau letakkan
tak ada kemarahan yang engkau tunjukkan
aku pun melayang

Dulu...
pelajaran ku selalu engkau tanya
namun engkau tak bisa menulis dan membaca
raport sekolah ku tak pernah engkau periksa
hanya selalu bertanya nilai dan absennya berapa
naik kelas atau tidak, cukup itu saja
mengaji engkau wajibkan
sembahyang dan puasa engkau haruskan
bila aku lalai sekali saja engkau ingatkan
bila masih, bertubi pukulan sebagai ganjaran
kau perintahkan aku disunat dalam umur yang masih belia
ketika ada tetangga yang bertanya
engkau jawab dengan seperlunya: "kelak, dia akan tahu manfaatnya"

Dulu...
sejak umurku kau anggap dewasa
kau biarkan aku melanglang buana
kau terus sibuk dengan mengarit rumput dan bekerja di huma
kau lepaskan aku menjadi laki-laki
untuk mandiri di kaki sendiri
tak pernah kau pukul aku sejak itu
namun aku lebih takut pada diam mu

Kemarin...
aku duduk bersama mu dipelataran
selepas maghrib sebelum engkau beranjak ke peraduan
bercengkerama dengan petuah mu yang sangat aku rindukan
sambil mengurut mu pada bahu dan tangan
semua ucapan mu aku dengarkan, dengarkan, dengarkan, dan takkan ku lupakan
tentang berfikir dengan hati dimajunya zaman
mengatakan yang benar dalam kehidupan yang penuh perubahan

Ayah...
aku bahagia diatas perlakuan mu selama ini
setelah ganasnya jaman dan teriknya perjalanan yang dirasai
telah mengingatkan nostalgia cinta diantara kita
dengan pola didik mu yang sungguh terasa
menempa hidup untuk tidak manja
dan berkata apa yang sebenarnya

Ayah...
keterbatasan mu itulah kegigihan mu
dan jika aku ditanya tentang pahlawan
maka engkau, nama pertama yang aku sebutkan

Ayah...
putih rambut mu, seputih kasih mu pada ku




Pelataran, 18 Januari 2010







Negeri (Tanpa) Korupsi

“power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”

Ungkapan Lord Acton tersebut mencerminkan arus kekuasaan sebagai muara penyalahgunaan wewenang. Prilaku menyimpang yang dikenal dengan istilah KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terus menjadi persoalan yang mengakar. Tidak hanya terjadi pada negera-negara miskin atau berkembang belaka, namun juga terjadi pada negara maju sekalipun. Hal ini menyiratkan tentu korupsi bukan hanya pada kelemahan sistem yang diterapkan namun turut pula pada persoalan moralitas. Namun dalam konteks tatanan kenegaraan maka sistem yang digunakan lebih menjadi sorotan, karena sistem pemerintahan memuat berbagai aturan dan sanksi serta evaluasi. Kelemahan pada pola transaparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan persoalan urgen yang harus terus diperbaharui. Pola pembaharuan birokrasi dari level pusat hingga tingkat desa sesegera mungkin untuk dilakukan.

Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Mulai dari kebijakan yang sifatnya internal (kalangan birokrat) hingga pada persoalan publik. Korupsi sangat berpotensi dalam tingkat birokrasi yang sentralistik, namun akan turut pula menjadi sebaran pada masyarakat sendiri. Secara langsung prilaku korupsi pada tingkat birokrasi yang lebih tinggi akan mudah dicontoh oleh penyelenggara birokrasi dibawahnya. Kelaziman terjadinya korupsi lebih pada adanya pertukaran antara aksi politik dengan kepentingan ekonomi dalam lingkaran kekuasaan. Seringkali yang muncul adalah penyalahgunaan keuangan negara atau proses jabatan yang didapat dengan menggunakan uang. Kasus-kasus korupsi yang selama ini ditangani lembaga hukum berbungkus pada dua hal tersebut. Sehingga penyakit “menular” itu hampir terjadi pada semua level birokrasi yang berurusan dengan uang rakyat, bahkan di lumbung wakil rakyat (DPR) sekalipun.

Didalam negeri berbagai peristiwa tindak pidana korupsi jauh lebih serius berada dibawah jenjang kekuasaan dan politik. Proses keterlibatannya lebih pada pemegang kebijakan baik ditingkat ekskutif, legislatif dan yudikatif. Persekongkolan pada level struktural seperti ini berlangsung sudah cukup lama layaknya prilaku korupsi pada sebagian masa kerajaan di negeri ini. Modus prilaku korup pada penggunaan jabatan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan, atau dengan kekuatan kekayaan untuk mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam jabatan. Pada level daerah sekalipun persekongkolan semacam ini sudah tampak biasa terlihat, seperti halnya bantuan dana sosial yang sekarang sedang menjadi polemik di propinsi tercinta ini. Ketidakberesan pada anggaran daerah sebenarnya merupakan penyakit lama yang terus dipelihara sejak jaman orde baru, artinya warisan yang belum ditinggalkan. wakil rakyat yang duduk cenderung lemah untuk bisa menjadi oposisi dalam konteks mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya, wakil rakyat melakukan lobby secara praktis guna mendapatkan keuntungan pribadi. Pergumulan yang sering dijadikan ajang persekongkolan pada arena pembahasan APBD di daerah, dimana bentuk transparansi dalam penyusunan APBD hanya berdasarkan kesepakatan diatas meja belaka. Anehnya lagi, banyak wakil rakyat yang masih menganggap RAPBD sebagai rahasia negara, tentu hal ini tidak lucu bahkan miris untuk didengar. Keterbatasan para wakil rakyat pada pemahaman transparansi APBD semacam ini akan membawa dampak pada sejauh mana berbagai anggaran pembangunan daerah tersebut tepat guna dan berhasil daya. Proses penyerapan aspirasi pada masyarakat hanya dilakukan secara formalitas melalui masa reses yang turut dianggarkan dalam APBD, dan seringkali pula aspirasi pembangunan tersebut tidak termuat dalam penyusunan anggaran keuangan daerah.

Lebih jauh, seringkali terjadi usaha pribadi dalam menekan kebijakan umum guna mendapatkan keuntungan direstui, seperti yang diungkapkan oleh Jean Rousseau sebagai “sifat bawaan korupsi”. Usaha semacam ini merujuk pada adanya keinginan pribadi atau kelompok pada bagaimana uang rakyat dicuri atas nama legalitas kebijakan. Kasus dugaan korupsi yang menimpa pemangku jabatan strategis disalah satu kabupaten di Kalbar baru-baru ini bisa jadi sudah biasa diterapkan oleh pemangku jabatan lain di propinsi ini, namun baru hari ini ada yang tertangkap basah. Berbagai contoh kasus korupsi yang terkabar dari media merupakan cerminan tatanan birokrasi dan politik yang begitu kental membungkus berbagai pola kebijakan yang dilahirkan dengan moral yang sangat rendah. kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah dalam proses membuat kebijakan adalah rendahnya memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk ikut menentukannya. Kalaupun ada ruang yang diberikan, hanya melibatkan unsur masyarakat yang mudah dikendalikan sebagai pemenuhan syarat tahapan proses tersebut dilaksanakan. Secara umum proses semacam ini tentu tidak menjawab substansi persoalan yang dihadapi masyarakat, melainkan hanya melahirkan langkah awal peluang korupsi menganga dengan lebarnya. Hal demikian terjadi karena substansi untuk melahirkan kepentingan umum dihilangkan, diganti menjadi pengendalian kebijakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Prilaku korup dengan merampas hak-hak rakyat merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebagaimana kata Nietzsche ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin, karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan. Dalam jangka panjang, guna memerangi prilaku korupsi yang menggila ini dituntut adanya strukturalisasi partisipasi dan aksi pengorganisasian yang baik. Perhatian semua kalangan untuk fokus pada berbagai bentuk korupsi harus dilakukan. Fungsi semacam ini tentu menjadi tanggungjawab semua elemen negeri, terlebih lagi partai politik, karena korupsi biasanya tumbuh subur dalam situasi yang tidak teratur (transisi), dimana stabilitas hubungan kerjasama antar berbagai kelompok cenderung rendah. Partai politik merupakan lembaga politik yang harus mampu membangun peran dan menjadi “jembatan” kokoh dalam pengorganisasian untuk tujuan kepentingan umum. Fungsi tersebut harus dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengontrol secara langsung melalui transformasi politik pada anggota partainya di parlemen. Fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi hendaknya dilakukan dengan sebenarnya oleh para anggota partai guna menggiring korupsi dalam negeri pada level terendah. Jika tidak, maka partai politik hanya menjadi bagian dari pusaran korupsi, tidak hanya secara praktis pada langkah politik belaka namun pada idealisme kepartaian yang dibangun pula. Dengan demikian, maka harapan hanya akan ditumpukan pada gerakan civil society oleh lembaga masyarakat dan mahasiswa serta media belaka. Potret tersebut dapat kita lihat pada situasi akhir-akhir ini yang terjadi di dalam negeri. Gerakan elemen masyarakat telah mengganti peran yang seharusnya dilakukan partai politik yang dikenal dengan parlemen jalanan. Disatu sisi hal ini tentu sebuah kemajuan yang berarti, namun sekaligus “kebangkrutan” gerakan partai politik sendiri dalam sebuah negeri.

Revolusi Anti Korupsi
Nuansa demokrasi yang terbangun dalam tatanan pemerintah terlihat hanya menampilkan potret kesuraman. Penegakkan hukum atas pelaku korupsi yang seharusnya menjadi komitmen bersama tampak setengah hati. Dengan demikian perlu sistem hukum baru guna memberi efek jera terhadap seluruh pelakunya, semisal dengan hukuman mati bagi yang terbukti dan syah secara hukum melakukannya. Berbagai toleransi kejahatan para penguasa melalui “permainan” politik yang dibuat oleh para pemimpin dalam penegakkan hukum. Belum lagi ditambah tebang pilih para pelakunya, dalam bahasa lain para birokrat level tinggi hampir tidak tersentuh dalam pemberantasannya. Kalaupun ada penanganan secara hukum pun belum mampu bekerja dengan optimal dan profesional. Jika hal ini terus terjadi, maka negeri ini akan terjebak pada kleptokrasi yang diperkenalkan Stanislav Andreski (Kleptocracy or Corruption as a System of Government, 1968). Untuk keluar dari jebakan kleptokrasi ini maka hanya revolusi yang diyakini sebagai solusi. Revolusi yang melibatkan kesadaran seluruh masyarakat, bahwa begitu bobroknya dan hancurnya alur birokrasi dan politik yang telah kita anut melalui sistem yang dibangun. Perlu sesuatu yang baru guna membangun negeri yang terbebas dari segala bentuk prilaku korupsi. Perilaku para “kaisar tua” yang selama ini menjadi lingkaran pengendali arus kekuasaan harus mampu disingkirkan, butuh kekuatan masyarakat baru untuk membangun negeri gemah ripah loh jinawi aman tentram kertaraharja. Membangun negeri dimana prilaku korupsi mendapat ganjaran halal untuk dihabisi, sekecil apapun uang rakyat yang dimakannya. Mungkin dengan jalan ini kejayaan nusantara akan benar-benar tercipta, tidak lagi hanya mimpi yang ditebarkan melalui janji para pemimpin seperti kemarin, hari ini, bahkan sampai seribu tahun lagi, hanya menjadi sebuah janji yang tiada bertali. Revolusi anti korupsi hendaknya dilakukan sedini mungkin untuk membangun sebuah harapan masa depan. Masa hadapan bukan hanya untuk kita hari ini, tapi untuk anak cucu kita, buat masa depan rakyat yang lebih bermartabat. Untuk kemaslahatan ummat, revolusi bukanlah sesuatu yang haram dihadapan Tuhan, bukan?

Tangis (Cerpen)

Rasa tak pernah bertanya asal usul tangis, karena ia dicipta bersama. Tangis bersemayam dalam sebuah gumpalan. Tangis hanya punya teman yang bernama kesedihan, kadang diundang pada waktu keriangan, itupun sesekali, dan sangat jarang terjadi. Tangis tak pernah mengeluh pada keberadaannya, dia hanya hadir pada makhluk yang mampu memaknai kehidupan, pada cipta yang paham akan kealfaan, dan pada sesuatu yang hidup dalam kecintaan.

Tangis itu indah berbentuk isak yang sering ditemukan dalam kesepian, kesendirian dan keheningan. Disanalah tangis berdzikir, merenung apa yang telah dibuat oleh sang akal dan sang hati. Seringkali bisikan suci di dada yang memicunya, nurani yang mendorongnya, meminta air mata mengalir ke muara yang penuh dengan nuansa, mengadu dan berkeluh kesah pada sesama, dan sangat lebih mulia pada Pemiliknya.

Kemarin, seperti biasa aku berjalan dalam senandung kehidupan, yang semakin ku nyanyikan kian memabukkan. Hingga mabuk kepayang pun tak ku sadarkan, ketiduran. Sebangunnya, aku terlentang dalam kesepian. Lalu tak kusangka dan tak terduga, tangis pun bertandang pada ku, banyak sesenggukannya di imla, terbata-bata hadirnya. Tangis acuh pada letih batin yang ada pada ku, tangis tetap saja berada diatas mimbar dan tak sanggup ku menghentikannya, tak punya tenaga untuk membungkamnya. Lepas rintih tubuh letih yang kian tertatih-tatih, aku pun pasrah mengalah. Hingga ia berhenti sendiri karena aku mengangguk sebagai tanda memahami semua yang dikatakannya. Padahal, aku berpura-pura, karena tangis memaksa, karena terasa berdenyut sakit dikepala.

Perjalanan ku lanjutkan dengan sempoyongan, lalu redup mata ku terkesima pada para pelacur plastik kehidupan, yang membungkukkan kepala hanya karena permata dan singgasana, yang penuh hiruk pikuk, yang bercanda tawa menghamba pada sesama manusia. Lautan manusia yang mencium kaki sang penguasa untuk mendapatkan penghargaan belaka. Lautan manusia yang menerima penghargaan atas keputusannya membuat kebijakan. Lautan manusia yang memanipulasi kebijakan demi untuk membangun istana-istana kecil. Lautan manusia yang menghuni istana kecil untuk memperkosa nilai kemanusiaan. Lautan manusia yang diperkosa pun hanya bisa merintih ganasnya senggama keserakahan. Lautan manusia yang hanya menjadi penonton dari kebiadaban dan kedzaliman. Aku pun menonton drama kemanusiaan itu dengan membesarkan mata, menikmati para pelaku yang membuka paksa pakaian mereka, merenggut paksa milik mereka, menghancurkan paksa hidup mereka, merusak paksa kemerdekaan mereka. Aku hanya diam, bahkan tak sanggup walaupun untuk sekedar bergumam. Aku melihat berjuta kepala penonton tertawa dan terbahak-bahak karena melihat kelicikan tuannya menjadi sutradara, aku pun ikut tertawa namun malu untuk terbahak, karena gigi ku tinggal dua dimuka. Jeda pertunjukkan, para tuan dan puan mengajak penonton berdansa, ku berhasrat menunaikan ajakannya, namun aku lupa cara memainkan kaki dan pinggulnya. Sungguh, aku melupakannya, apalagi maju mundurnya...

Lalu tangispun menghampiri ku lagi dan berkata “hadir ku takkan pernah bermakna, bagi mereka yang terlalu akrab pada gelak dan tawa” ucapnya lirih sambil mencibir ku sehabis menyaksikan para setan berwajah dalang memainkan boneka kemanusiaan. Tangis pergi tanpa permisi, ku biarkan ia berlari tanpa sedikitpun ingin mencegahnya. Sadar ku turun dari ubun-ubun ke bagian muka namun enggan sampai ke ujung kaki. Terasa hidungku menghirup bau busuk yang menyengat di sekujur tubuh ku. Sambil mengingat penyebabnya, terasa bercampuk aduk baunya. Ternyata, sejak menginjak usia tanda remaja aku telah banyak mencintai kebusukan yang tampak menyenangkan, mengajakku pada kebahagiaan, terlihat ramah pada keasikan, hingga mabuk pun tak ku sadari kesesatan, hanya pikiran yang merasa diuntungkan, menjanjikan dan meyakinkan. Tangis sudah lama tak pernah bertamu ke rongga dada purna masa kanak-kanak ku, tak pernah aku mencarinya, jika akan berpapasan dengannya pun tak mau aku menolehnya, apalagi untuk bersemuka, sungguh tak sudi rasanya. Tangis ku jadikan stempel kebodohan dan kelemahan yang tak boleh mempunyai ruang disudut manapun di dalam hidup ku. Bahkan jika ia menumpang sedikit ditahi kuku pun ku merasa risih, dan lantas mengusirnya agar tak mengenalkan ku pada rintih.

Kembali ditengah perjalanan, ku ingin bercermin, berlari ke pasar untuk membelinya. Penampilan ku masih tetap sama, garis pakaian yang dikenakan masih lancip bekas setrikaannya, sepatu sekilap awalnya. Tak terjadi perubahan apa-apa pada muka, hanya terlihat sedikit merah menghiasi antara hitam dan putihnya mata. Itu tak mempengaruhi, aku tetap melangkah membusungkan dada, walaupun sebenarnya aku tak bisa menegakkan tulang belakangku yang memang agak bongkok dari asalnya.

Selepas tujuh tanjung, tujuh gunung dan tujuh samudera aku berjalan, aku menemukan pesona, aku melihatnya dengan membelalakkan mata dan mulut ternganga, terlena pada sepasang mata. Wanita setengah baya dengan pesona kerudung jingga. Ku hampiri untuk menyapa, tak dibalasnya. Aku berusaha menarik pesonanya, ia sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya, biasa saja, tapi sorot matanya tajam memandang ku dengan kecemasan. Aku bertanya namanya, ia hanya menjawab “asssalamu’alaikum” dengan lembutnya, segera ku menjawabnya. Lalu, aku bertanya asalnya, ia tak menjawab apa-apa. Semakin banyak ku ucapkan,tak ada jawaban yang ku dapatkan. Sebelum pergi dia hanya berkata “temuilah tangis dengan segera, makna dunia ada disana”. Aku diam, tangis ku undang namun tak kunjung datang. Aku terus berusaha menghadirkan dengan mengingatnya, namun tak jua tiba, ku paksa tak jua datang tanda. Tangis tak sudi nampaknya, membalas perlakuan ku selama ini terhadapnya, berprasangka.

Aku lupakan wanita itu dengan rasa yang menyesakkan dada, tak puas aku atas lisannya. Tangis yang diharapkan kedatanganya tampak sia-sia. Lalu ku lihat sembilan kucing berjalan bersama, indah warnanya dipelupuk mata. Ku menghampiri dan merangkulnya secara bergantian. Ku cium dan ku peluk sepuasnya dengan belaian yang bergantian pula. Lalu aku merasa ada yang berbeda dari sembilan kucing yang ada, satu darinya mengalami keunikan. Coba ku perhatikan dengan seksama, ternyata delapan kucing berwarna indah tak ada yang berekor, dan satu berwarna kusam membosankan tampak korengan mempunyai ekor. Aku lihat mukanya penuh dengan genangan air mata yang jatuh dari pelupuknya, rasa jijik untuk menyentuhnya. Penasaran ku memanggil hasrat jiwa untuk mengungkap rahasia kekurangannya. Aku bawa sembilan kucing pada seorang petapa, yang alas tidurnya dari anyaman pelepah kurma, yang mencintai pengikutnya melebihi kecintaannya pada dirinya. Aku duduk bersila, tertunduk dihadapnya, menyampaikan salam dan lantas bertanya “Tuan, apa maksud dari sembilan kucing ini, yang satu diantaranya berbeda dari lainnya...” usai ku menghaturkan pertanyaan, manusia suci itu menjawab dengan penuh kesopanan dan keramahan. “...yang satu itulah kucing yang sempurna penciptaannya, dan lebih baik dari delapan lainnya, warna hanyalah fatamorgana, tanda zaman yang kian senja” aku terkejut atas jawabannya, dan ingin kembali bertanya, namun sang Tuan segera menghela “jangan kau bimbang dan ragu atas ucapan ku, temukan kebenaran dengan tangis” dia menyudahi pembicaraan, dan lantas pamit dari hadapan. Aku bisu, kelu, bahkan untuk menjawab salam perpisahan hanya dengan anggukan.

Aku pulang, tak ada lagi yang dapat ku busungkan, bahkan bercermin pun rasanya aku malu. Tidur mengalami keresahan, membaca pun hanya menambah kegelisahan. Siang dan malam silih berganti, aku menanti tangis datang, tak kunjung ia bertandang, hanya sesekali dada terasa berisik, tapi setanpun terasa terus berbisik “jangan kau undang tangis, hanya membuat hidup pesimis” rayunya.

Gemercik air turun pelan-pelan dipelataran saat waktu bercumbu dengan kepekatan, pertanda tetes dari langit turun bergantian. Aku merusak keheningan dengan melepas angin berbau dari sebuah lubang. Dengan langkah malas aku ke pancoran menadah air yang diturunkan makhluk yang terbuat dari cahaya atas perintahNya. Selesai bersuci, ku berdiri mengangkat kedua belah tangan hingga ke telinga, bertutur apa yang telah disabdakan utusanNya, sambil mengulum sisa percikan air di muka, terasa asin dan hangat rasanya...

Ingin Hamba Mencintai Tangis Mu,
Bolehkan Tuhan?