“power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”
Ungkapan Lord Acton tersebut mencerminkan arus kekuasaan sebagai muara penyalahgunaan wewenang. Prilaku menyimpang yang dikenal dengan istilah KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terus menjadi persoalan yang mengakar. Tidak hanya terjadi pada negera-negara miskin atau berkembang belaka, namun juga terjadi pada negara maju sekalipun. Hal ini menyiratkan tentu korupsi bukan hanya pada kelemahan sistem yang diterapkan namun turut pula pada persoalan moralitas. Namun dalam konteks tatanan kenegaraan maka sistem yang digunakan lebih menjadi sorotan, karena sistem pemerintahan memuat berbagai aturan dan sanksi serta evaluasi. Kelemahan pada pola transaparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan persoalan urgen yang harus terus diperbaharui. Pola pembaharuan birokrasi dari level pusat hingga tingkat desa sesegera mungkin untuk dilakukan.
Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Mulai dari kebijakan yang sifatnya internal (kalangan birokrat) hingga pada persoalan publik. Korupsi sangat berpotensi dalam tingkat birokrasi yang sentralistik, namun akan turut pula menjadi sebaran pada masyarakat sendiri. Secara langsung prilaku korupsi pada tingkat birokrasi yang lebih tinggi akan mudah dicontoh oleh penyelenggara birokrasi dibawahnya. Kelaziman terjadinya korupsi lebih pada adanya pertukaran antara aksi politik dengan kepentingan ekonomi dalam lingkaran kekuasaan. Seringkali yang muncul adalah penyalahgunaan keuangan negara atau proses jabatan yang didapat dengan menggunakan uang. Kasus-kasus korupsi yang selama ini ditangani lembaga hukum berbungkus pada dua hal tersebut. Sehingga penyakit “menular” itu hampir terjadi pada semua level birokrasi yang berurusan dengan uang rakyat, bahkan di lumbung wakil rakyat (DPR) sekalipun.
Didalam negeri berbagai peristiwa tindak pidana korupsi jauh lebih serius berada dibawah jenjang kekuasaan dan politik. Proses keterlibatannya lebih pada pemegang kebijakan baik ditingkat ekskutif, legislatif dan yudikatif. Persekongkolan pada level struktural seperti ini berlangsung sudah cukup lama layaknya prilaku korupsi pada sebagian masa kerajaan di negeri ini. Modus prilaku korup pada penggunaan jabatan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan, atau dengan kekuatan kekayaan untuk mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam jabatan. Pada level daerah sekalipun persekongkolan semacam ini sudah tampak biasa terlihat, seperti halnya bantuan dana sosial yang sekarang sedang menjadi polemik di propinsi tercinta ini. Ketidakberesan pada anggaran daerah sebenarnya merupakan penyakit lama yang terus dipelihara sejak jaman orde baru, artinya warisan yang belum ditinggalkan. wakil rakyat yang duduk cenderung lemah untuk bisa menjadi oposisi dalam konteks mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya, wakil rakyat melakukan lobby secara praktis guna mendapatkan keuntungan pribadi. Pergumulan yang sering dijadikan ajang persekongkolan pada arena pembahasan APBD di daerah, dimana bentuk transparansi dalam penyusunan APBD hanya berdasarkan kesepakatan diatas meja belaka. Anehnya lagi, banyak wakil rakyat yang masih menganggap RAPBD sebagai rahasia negara, tentu hal ini tidak lucu bahkan miris untuk didengar. Keterbatasan para wakil rakyat pada pemahaman transparansi APBD semacam ini akan membawa dampak pada sejauh mana berbagai anggaran pembangunan daerah tersebut tepat guna dan berhasil daya. Proses penyerapan aspirasi pada masyarakat hanya dilakukan secara formalitas melalui masa reses yang turut dianggarkan dalam APBD, dan seringkali pula aspirasi pembangunan tersebut tidak termuat dalam penyusunan anggaran keuangan daerah.
Lebih jauh, seringkali terjadi usaha pribadi dalam menekan kebijakan umum guna mendapatkan keuntungan direstui, seperti yang diungkapkan oleh Jean Rousseau sebagai “sifat bawaan korupsi”. Usaha semacam ini merujuk pada adanya keinginan pribadi atau kelompok pada bagaimana uang rakyat dicuri atas nama legalitas kebijakan. Kasus dugaan korupsi yang menimpa pemangku jabatan strategis disalah satu kabupaten di Kalbar baru-baru ini bisa jadi sudah biasa diterapkan oleh pemangku jabatan lain di propinsi ini, namun baru hari ini ada yang tertangkap basah. Berbagai contoh kasus korupsi yang terkabar dari media merupakan cerminan tatanan birokrasi dan politik yang begitu kental membungkus berbagai pola kebijakan yang dilahirkan dengan moral yang sangat rendah. kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah dalam proses membuat kebijakan adalah rendahnya memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk ikut menentukannya. Kalaupun ada ruang yang diberikan, hanya melibatkan unsur masyarakat yang mudah dikendalikan sebagai pemenuhan syarat tahapan proses tersebut dilaksanakan. Secara umum proses semacam ini tentu tidak menjawab substansi persoalan yang dihadapi masyarakat, melainkan hanya melahirkan langkah awal peluang korupsi menganga dengan lebarnya. Hal demikian terjadi karena substansi untuk melahirkan kepentingan umum dihilangkan, diganti menjadi pengendalian kebijakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Prilaku korup dengan merampas hak-hak rakyat merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebagaimana kata Nietzsche ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin, karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan. Dalam jangka panjang, guna memerangi prilaku korupsi yang menggila ini dituntut adanya strukturalisasi partisipasi dan aksi pengorganisasian yang baik. Perhatian semua kalangan untuk fokus pada berbagai bentuk korupsi harus dilakukan. Fungsi semacam ini tentu menjadi tanggungjawab semua elemen negeri, terlebih lagi partai politik, karena korupsi biasanya tumbuh subur dalam situasi yang tidak teratur (transisi), dimana stabilitas hubungan kerjasama antar berbagai kelompok cenderung rendah. Partai politik merupakan lembaga politik yang harus mampu membangun peran dan menjadi “jembatan” kokoh dalam pengorganisasian untuk tujuan kepentingan umum. Fungsi tersebut harus dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengontrol secara langsung melalui transformasi politik pada anggota partainya di parlemen. Fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi hendaknya dilakukan dengan sebenarnya oleh para anggota partai guna menggiring korupsi dalam negeri pada level terendah. Jika tidak, maka partai politik hanya menjadi bagian dari pusaran korupsi, tidak hanya secara praktis pada langkah politik belaka namun pada idealisme kepartaian yang dibangun pula. Dengan demikian, maka harapan hanya akan ditumpukan pada gerakan civil society oleh lembaga masyarakat dan mahasiswa serta media belaka. Potret tersebut dapat kita lihat pada situasi akhir-akhir ini yang terjadi di dalam negeri. Gerakan elemen masyarakat telah mengganti peran yang seharusnya dilakukan partai politik yang dikenal dengan parlemen jalanan. Disatu sisi hal ini tentu sebuah kemajuan yang berarti, namun sekaligus “kebangkrutan” gerakan partai politik sendiri dalam sebuah negeri.
Revolusi Anti Korupsi
Nuansa demokrasi yang terbangun dalam tatanan pemerintah terlihat hanya menampilkan potret kesuraman. Penegakkan hukum atas pelaku korupsi yang seharusnya menjadi komitmen bersama tampak setengah hati. Dengan demikian perlu sistem hukum baru guna memberi efek jera terhadap seluruh pelakunya, semisal dengan hukuman mati bagi yang terbukti dan syah secara hukum melakukannya. Berbagai toleransi kejahatan para penguasa melalui “permainan” politik yang dibuat oleh para pemimpin dalam penegakkan hukum. Belum lagi ditambah tebang pilih para pelakunya, dalam bahasa lain para birokrat level tinggi hampir tidak tersentuh dalam pemberantasannya. Kalaupun ada penanganan secara hukum pun belum mampu bekerja dengan optimal dan profesional. Jika hal ini terus terjadi, maka negeri ini akan terjebak pada kleptokrasi yang diperkenalkan Stanislav Andreski (Kleptocracy or Corruption as a System of Government, 1968). Untuk keluar dari jebakan kleptokrasi ini maka hanya revolusi yang diyakini sebagai solusi. Revolusi yang melibatkan kesadaran seluruh masyarakat, bahwa begitu bobroknya dan hancurnya alur birokrasi dan politik yang telah kita anut melalui sistem yang dibangun. Perlu sesuatu yang baru guna membangun negeri yang terbebas dari segala bentuk prilaku korupsi. Perilaku para “kaisar tua” yang selama ini menjadi lingkaran pengendali arus kekuasaan harus mampu disingkirkan, butuh kekuatan masyarakat baru untuk membangun negeri gemah ripah loh jinawi aman tentram kertaraharja. Membangun negeri dimana prilaku korupsi mendapat ganjaran halal untuk dihabisi, sekecil apapun uang rakyat yang dimakannya. Mungkin dengan jalan ini kejayaan nusantara akan benar-benar tercipta, tidak lagi hanya mimpi yang ditebarkan melalui janji para pemimpin seperti kemarin, hari ini, bahkan sampai seribu tahun lagi, hanya menjadi sebuah janji yang tiada bertali. Revolusi anti korupsi hendaknya dilakukan sedini mungkin untuk membangun sebuah harapan masa depan. Masa hadapan bukan hanya untuk kita hari ini, tapi untuk anak cucu kita, buat masa depan rakyat yang lebih bermartabat. Untuk kemaslahatan ummat, revolusi bukanlah sesuatu yang haram dihadapan Tuhan, bukan?
Ungkapan Lord Acton tersebut mencerminkan arus kekuasaan sebagai muara penyalahgunaan wewenang. Prilaku menyimpang yang dikenal dengan istilah KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terus menjadi persoalan yang mengakar. Tidak hanya terjadi pada negera-negara miskin atau berkembang belaka, namun juga terjadi pada negara maju sekalipun. Hal ini menyiratkan tentu korupsi bukan hanya pada kelemahan sistem yang diterapkan namun turut pula pada persoalan moralitas. Namun dalam konteks tatanan kenegaraan maka sistem yang digunakan lebih menjadi sorotan, karena sistem pemerintahan memuat berbagai aturan dan sanksi serta evaluasi. Kelemahan pada pola transaparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan persoalan urgen yang harus terus diperbaharui. Pola pembaharuan birokrasi dari level pusat hingga tingkat desa sesegera mungkin untuk dilakukan.
Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Mulai dari kebijakan yang sifatnya internal (kalangan birokrat) hingga pada persoalan publik. Korupsi sangat berpotensi dalam tingkat birokrasi yang sentralistik, namun akan turut pula menjadi sebaran pada masyarakat sendiri. Secara langsung prilaku korupsi pada tingkat birokrasi yang lebih tinggi akan mudah dicontoh oleh penyelenggara birokrasi dibawahnya. Kelaziman terjadinya korupsi lebih pada adanya pertukaran antara aksi politik dengan kepentingan ekonomi dalam lingkaran kekuasaan. Seringkali yang muncul adalah penyalahgunaan keuangan negara atau proses jabatan yang didapat dengan menggunakan uang. Kasus-kasus korupsi yang selama ini ditangani lembaga hukum berbungkus pada dua hal tersebut. Sehingga penyakit “menular” itu hampir terjadi pada semua level birokrasi yang berurusan dengan uang rakyat, bahkan di lumbung wakil rakyat (DPR) sekalipun.
Didalam negeri berbagai peristiwa tindak pidana korupsi jauh lebih serius berada dibawah jenjang kekuasaan dan politik. Proses keterlibatannya lebih pada pemegang kebijakan baik ditingkat ekskutif, legislatif dan yudikatif. Persekongkolan pada level struktural seperti ini berlangsung sudah cukup lama layaknya prilaku korupsi pada sebagian masa kerajaan di negeri ini. Modus prilaku korup pada penggunaan jabatan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan, atau dengan kekuatan kekayaan untuk mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam jabatan. Pada level daerah sekalipun persekongkolan semacam ini sudah tampak biasa terlihat, seperti halnya bantuan dana sosial yang sekarang sedang menjadi polemik di propinsi tercinta ini. Ketidakberesan pada anggaran daerah sebenarnya merupakan penyakit lama yang terus dipelihara sejak jaman orde baru, artinya warisan yang belum ditinggalkan. wakil rakyat yang duduk cenderung lemah untuk bisa menjadi oposisi dalam konteks mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya, wakil rakyat melakukan lobby secara praktis guna mendapatkan keuntungan pribadi. Pergumulan yang sering dijadikan ajang persekongkolan pada arena pembahasan APBD di daerah, dimana bentuk transparansi dalam penyusunan APBD hanya berdasarkan kesepakatan diatas meja belaka. Anehnya lagi, banyak wakil rakyat yang masih menganggap RAPBD sebagai rahasia negara, tentu hal ini tidak lucu bahkan miris untuk didengar. Keterbatasan para wakil rakyat pada pemahaman transparansi APBD semacam ini akan membawa dampak pada sejauh mana berbagai anggaran pembangunan daerah tersebut tepat guna dan berhasil daya. Proses penyerapan aspirasi pada masyarakat hanya dilakukan secara formalitas melalui masa reses yang turut dianggarkan dalam APBD, dan seringkali pula aspirasi pembangunan tersebut tidak termuat dalam penyusunan anggaran keuangan daerah.
Lebih jauh, seringkali terjadi usaha pribadi dalam menekan kebijakan umum guna mendapatkan keuntungan direstui, seperti yang diungkapkan oleh Jean Rousseau sebagai “sifat bawaan korupsi”. Usaha semacam ini merujuk pada adanya keinginan pribadi atau kelompok pada bagaimana uang rakyat dicuri atas nama legalitas kebijakan. Kasus dugaan korupsi yang menimpa pemangku jabatan strategis disalah satu kabupaten di Kalbar baru-baru ini bisa jadi sudah biasa diterapkan oleh pemangku jabatan lain di propinsi ini, namun baru hari ini ada yang tertangkap basah. Berbagai contoh kasus korupsi yang terkabar dari media merupakan cerminan tatanan birokrasi dan politik yang begitu kental membungkus berbagai pola kebijakan yang dilahirkan dengan moral yang sangat rendah. kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah dalam proses membuat kebijakan adalah rendahnya memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk ikut menentukannya. Kalaupun ada ruang yang diberikan, hanya melibatkan unsur masyarakat yang mudah dikendalikan sebagai pemenuhan syarat tahapan proses tersebut dilaksanakan. Secara umum proses semacam ini tentu tidak menjawab substansi persoalan yang dihadapi masyarakat, melainkan hanya melahirkan langkah awal peluang korupsi menganga dengan lebarnya. Hal demikian terjadi karena substansi untuk melahirkan kepentingan umum dihilangkan, diganti menjadi pengendalian kebijakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Prilaku korup dengan merampas hak-hak rakyat merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebagaimana kata Nietzsche ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin, karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan. Dalam jangka panjang, guna memerangi prilaku korupsi yang menggila ini dituntut adanya strukturalisasi partisipasi dan aksi pengorganisasian yang baik. Perhatian semua kalangan untuk fokus pada berbagai bentuk korupsi harus dilakukan. Fungsi semacam ini tentu menjadi tanggungjawab semua elemen negeri, terlebih lagi partai politik, karena korupsi biasanya tumbuh subur dalam situasi yang tidak teratur (transisi), dimana stabilitas hubungan kerjasama antar berbagai kelompok cenderung rendah. Partai politik merupakan lembaga politik yang harus mampu membangun peran dan menjadi “jembatan” kokoh dalam pengorganisasian untuk tujuan kepentingan umum. Fungsi tersebut harus dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengontrol secara langsung melalui transformasi politik pada anggota partainya di parlemen. Fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi hendaknya dilakukan dengan sebenarnya oleh para anggota partai guna menggiring korupsi dalam negeri pada level terendah. Jika tidak, maka partai politik hanya menjadi bagian dari pusaran korupsi, tidak hanya secara praktis pada langkah politik belaka namun pada idealisme kepartaian yang dibangun pula. Dengan demikian, maka harapan hanya akan ditumpukan pada gerakan civil society oleh lembaga masyarakat dan mahasiswa serta media belaka. Potret tersebut dapat kita lihat pada situasi akhir-akhir ini yang terjadi di dalam negeri. Gerakan elemen masyarakat telah mengganti peran yang seharusnya dilakukan partai politik yang dikenal dengan parlemen jalanan. Disatu sisi hal ini tentu sebuah kemajuan yang berarti, namun sekaligus “kebangkrutan” gerakan partai politik sendiri dalam sebuah negeri.
Revolusi Anti Korupsi
Nuansa demokrasi yang terbangun dalam tatanan pemerintah terlihat hanya menampilkan potret kesuraman. Penegakkan hukum atas pelaku korupsi yang seharusnya menjadi komitmen bersama tampak setengah hati. Dengan demikian perlu sistem hukum baru guna memberi efek jera terhadap seluruh pelakunya, semisal dengan hukuman mati bagi yang terbukti dan syah secara hukum melakukannya. Berbagai toleransi kejahatan para penguasa melalui “permainan” politik yang dibuat oleh para pemimpin dalam penegakkan hukum. Belum lagi ditambah tebang pilih para pelakunya, dalam bahasa lain para birokrat level tinggi hampir tidak tersentuh dalam pemberantasannya. Kalaupun ada penanganan secara hukum pun belum mampu bekerja dengan optimal dan profesional. Jika hal ini terus terjadi, maka negeri ini akan terjebak pada kleptokrasi yang diperkenalkan Stanislav Andreski (Kleptocracy or Corruption as a System of Government, 1968). Untuk keluar dari jebakan kleptokrasi ini maka hanya revolusi yang diyakini sebagai solusi. Revolusi yang melibatkan kesadaran seluruh masyarakat, bahwa begitu bobroknya dan hancurnya alur birokrasi dan politik yang telah kita anut melalui sistem yang dibangun. Perlu sesuatu yang baru guna membangun negeri yang terbebas dari segala bentuk prilaku korupsi. Perilaku para “kaisar tua” yang selama ini menjadi lingkaran pengendali arus kekuasaan harus mampu disingkirkan, butuh kekuatan masyarakat baru untuk membangun negeri gemah ripah loh jinawi aman tentram kertaraharja. Membangun negeri dimana prilaku korupsi mendapat ganjaran halal untuk dihabisi, sekecil apapun uang rakyat yang dimakannya. Mungkin dengan jalan ini kejayaan nusantara akan benar-benar tercipta, tidak lagi hanya mimpi yang ditebarkan melalui janji para pemimpin seperti kemarin, hari ini, bahkan sampai seribu tahun lagi, hanya menjadi sebuah janji yang tiada bertali. Revolusi anti korupsi hendaknya dilakukan sedini mungkin untuk membangun sebuah harapan masa depan. Masa hadapan bukan hanya untuk kita hari ini, tapi untuk anak cucu kita, buat masa depan rakyat yang lebih bermartabat. Untuk kemaslahatan ummat, revolusi bukanlah sesuatu yang haram dihadapan Tuhan, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar