Jumat, 12 Maret 2010

Mungkin (Aku) Juga Gila




Entah mimpi apa yang datang jika tidur awal menjadi kaget tanpa alasan, bangun sebelum tengah malam. Tentu tak seimbang dengan kondisi badan, keletihan, yang seharusnya terbayar selepas seharian mutar-mutar tanpa garis edar. Paling tidak, seharusnya badan ini tidur minimal 5 jam. Setelah kaget berdiri, cuci muka yang aku bisa. Malam sudah menenun kegelapan, ke warung kopi menjadi pilihan. Duduk ditemani sebotol air mineral tanpa kopi, ditemani 2 (dua) anak manusia yang seringkali bersama. Cukup lama mencari referensi dan bahan, namun belum ditemukan, hingga waktu online pun tak terasa. Lepas tengah malam, memilih bubar. Diparkir terasa perut lapar, padahal diawal malam sebelum tertidur sempat menelan bakso sambil mendengar banyak senda gurau dari teman-teman. Tadi sempat bertemu si Dia dengan penuh nuansa, tak ada yang berbeda dari pertemuan sebelumnya. Kita hanya saling menyapa, dan bercerita tentang MR yang mengajaknya berbincang. Oh maaf, jika dikesempatan ini, aku pun tak bisa melupakan senyumnya.
Usailah cerita pertemuan dengan si Dia tadi. Mari lanjutkan kembali cerita ku selepas tengah malam. Keluar dari parkiran warung kopi, mengajak teman-teman makan diemperan, disimpang jalan Alianyang-Penjara. Itu tempat kami nonkrong untuk menemukan suasana baru. Mendekatkan diri dengan para pedagang kecil yang nasib dagangannya setiap hari semakin ganjil. Memilih makan masakan bibi yang warung kaki limanya menjual rujak, nasi kopi, dan makanan lainnya.  Kami bertiga memilih untuk makan nasi, dengan lauk pauk yang berbeda porsi. Kompak es teh yang kami pesan, tak hirau diluar tampak hujan. Kami duduk dan makan dipelataran warung, sambil menyuap dan menelan diselingi tawa. Masih saja seputar pertemuan ku dengan si Dia yang tak pernah terduga akan kepergok sama mereka. Aduh, malunya. Kembali memilih diam saja saat olok-olokan itu menciutkan telinga, tak mesti dijawab, agar semuanya semakin sederhana. Agar mereka bisa menganggap itu hal biasa, meskipun terlihat aku paling “tua” diantara mereka. Tak ada waktu habis, canda mereka kian manis meski mengiris. Jangan membantah, karena bisa membuat pikiran lelah. Jangan diklarifikasi, karena mereka tak pernah sangsi pada asumsi. Maka dari itu, diam saja.
Ditengah gelak bertandang, tiba-tiba datang seseorang yang tak diundang. Perawakan tinggi, berkulit sawo matang (jika tak tega mau menyebut hitam) seperti ku. Terlihat rambut pendek agak ikal, celana coklat muda, dan berbaju putih sebuah partai politik. Duduk dihadapan kami bertiga yang duduk dibangku panjang menghadap jalan. Laki-laki itu langsung meminta rokok, dengan tangannya langsung meraihnya. Rokok Marlboro ku yang dipilihnya, meski ada Dji Sam Soe Refill dimeja yang sama. Dia langsung menyalakan dengan cricket biru yang bertahan ditangan ku sudah seminggu. Setelah rokok mengepul dia duduk sebentar, dan langsung kabur entah kemana, tampak menyeberangi jalan di sisi luar halaman warung. Obrolan pun berlanjut tanpa terasa terganggu oleh kedatangan tamu “agung” itu. Banyak tawa, sindiran dari dua orang teman tentang si Dia tetap berjalan dengan sempurna. Ampun Gusti, tadi pagi mereka makan apa, sepertinya “enak” saja air liurnya?
Dari hujan berganti gerimis, topik kami sedikit bergeser. Nasi dan dan lauk yang kami telan sudah diproses mencadi encer. Ngawor-ngidul tak ada suara yang membahana selain kami bertiga. Kami berbincang tentang obrolan dan nasib kaum kecil yang sepertinya kian menggigil. Tentang para intelektual gombal, politisi yang tak peduli, nasib Nahdlatul Ulama ditangan para kyai politisi atau ustadz birokrat. Berbincang harapan kami yang ingin melihat semuanya damai, tidak saling bercerai berai. Tanpa suara, lelaki itu datang kembali dihadapan kami. Langsung mengambil kembali rokok dihadapan ku yang sisa sebatang. Tanpa suara, dia menghisap es teh sisa punya teman ku yang tak lagi terasa manisnya. Kami biarkan saja laki-laki itu mengekspresikan kehendaknya atas milik kami, karena kami mungkin sudah “memaklumi” kelakuannya. Padanya kami belajar bertoleransi.
Membiarkannya, itu pilihan kami, karena untuk mengajaknya berbicara kami enggan memulai. Lalu, lelaki itu memunguti sisa-sisa nasi dari piring yang tersusun acak-acakan di meja makan. Dia mengais sisa gorengan ampla yang penuh abu rokok, karena piring sisa makan kami sulap menjadi asbak. Hati getir darah berdesir. Toleransi ini tak boleh dibiarkan, harus dilawan. Aku memberanikan diri menyapa lelaki itu dengan merendahkan suara. Menawarkan makan untuknya, dan dia menolak tanpa alasan. Tiga kali ditanya, tiga kali pula dia menolak dengan tegasnya. Mungkin, aku masih terdengar tinggi suara, maka ku melembutkannya. Tawaran ku untuk membayarkan asal mau makan diterima. AKu pesankan makan, persis porsi yang ku telan. Minum pun disamakan seperti yang mengalir di kerongkongan. Tak ada bedanya, karena dia juga manusia, seperti kami yang duduk merenda dunia. Sambil menunggu makan untuknya datang, kami bertiga diam membisu, bahkan pikiran pun buntu dan hatipun beku.
Dia menggeser duduknya ketika makan ke kursi sebelah, lahap sekali nampaknya. Kami bertiga masih terlibat bicara nostalgia. Tak ku pandang ia menelan karena khawatir dia menjadi sungkan. Aku hanya mencuri pandang, dia menelan dengan senyuman. Senyumnya terus mengembang sepanjang menikmati rejeki. Sungguh indah sikapnya dihadapan Tuhan, tak seindah kita yang gampang untuk makan namun selalu merasa kekurangan. Sungguh bijak ia menyikapi kekurangan, tak sebijak kita yang mencintai dunia dengan kerakusan. Alangkah sabarnya dia menjalani cobaan, tak sesabar kita yang menghadapinya dengan keculasan dan keangkuhan. Alangkah santai dia menahan lapar, tak sesantai kita yang demi makan ikhlas bertengkar. Betapa nyaman dia menjalani kehinaan dimata orang, tak senyaman kita yang sombong sekalipun dihadapan Tuhan. Betapa riang dia dipandang sebelah mata, tak seriang kita menghalalkan segala cara untuk bisa dianggap bahagia. Sungguh, Alangkah, dan betapa dia juga  seorang insan seperti kami yang duduk bertiga.      
Dengan merasa kenyang seusai santap menjelang dini hari, ia duduk menatap televisi. Sempurna tatapannya, terkulum senyumnya melihat film yang ditayang. Tak ada kata ataupun suara dari mulutnya. Hanya kerdipan mata bahwa dia tidak seaneh yang orang kira. Seringkali kita melihat orang-orang seperti ini yang berkelakuan aneh sebagai tanda manusia tidak waras, atau gila gampangnya. Gila itu kata yang sering kita daulatkan pada orang-orang yang unik dalam hidupnya, berbeda dengan manusia umumnya. Kita selalu menganggap diri paling waras, karena berprilaku menurut persepsi atau asumsi yang semestinya. Kita yang selalu mengira-ngira bahkan tak jarang dengan menerka-nerka. Lebih parah lagi, kita merasa manusia yang paling berhak menafsirkan titah-Nya dengan mengabaikan manusia lainnya. Bahkan lebih mudah lagi, kita yang bisa menikmati dunia dan isinya, merasa paling waras hidupnya. Mengejar harta dengan cara apapun kita lakukan untuk tidak dipandang sebelah mata atau dilecehkan dalam kehidupan. Kita, manusia yang gila sebenarnya namun mewaraskan diri dengan cara berpura-pura.
Waras dan gila bukanlah prilaku berlawanan, namun hanya sebatas perbedaan. Kita semestinya bisa mengilhami perbedaan dengan cara indah dalam memandangnya. Tidak lagi melihat orang berbeda sebagai manusia yang tak pantas hadir di dunia. Bahkan lebih kejam lagi, kita yang merasa waras atas pikiran sendiri tak lagi memakai nurani dalam menilai bumi dan isi. Sungguh, manusia tak ada yang sempurna, bahkan aku pun sempat menganggap laki-laki tadi itu juga gila.
Hujan teduh setengah tiga, kami pulang bersama menaiki kerangka besi tua. Tak ada obrolan dijalan, hanya tawa bersahutan, entah apa yang dibicarakan, tak jelas awal dan tujuan. Sesampai dirumah, aku segera mungkin untuk tak lupa, merasa menemui-Nya. Tak ada angin, bahkan semilir lembut pun tak datang disuasana hening. Ku lihat teman-teman tadi terlelap dengan tenang walaupun posisi tidurnya asal-asalan. Melihat mereka, aku jadi berpikir bahwa kita tak pernah waras selama 24 jam, karena dalam tidur kita tak bisa mengatur. Berserah pada kemauan-Nya layaknya laki-laki diwarung tadi, yang keondisinya karena kehendak-Nya. Aku pun gila merasa menghadap-Nya, padahal bisa jadi itu keberpura-puraan ku mentaati perintah-Nya. Apapun amal yang kita lakukan dan kedudukan yang diemban, jangan dijadikan modal untuk minta diagungkan, dipuji bahkan untuk didewakan. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga selalu merendahkan hatinya. Baginda pernah berkata “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Quraisy yang biasa makan ikan asin” di suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi dan gemetaran -oleh wibawa beliau- saat berbicara.
Indahnya Kanjeng Rasul, yang tak pernah memandang hidup orang lain dengan sebelah mata. Selalu mengayomi perbedaan dan kealfaan manusia dengan kerendahan hatinya. Tidak seperti kita kebanyakan, dan aku yang menuliskan, hanya mengejar dunia dengan isinya tanpa bisa sederhana dan bersahaja. Tanpa mengenal waktu, hanya merasa waras dengan pikiran sementara. Bisa jadi, kita lebih gila dari saudara ku di warung tadi yang telah dibebaskan hukuman atas dirinya. Jika dia dianggap gila karena tak bisa menggunakan akalnya, mungkin kita gila karena berlebihan menggunakan fungsi sebagai manusia.
Akhir cerita dari perjalanan, melepas Jum’at yang keramat, aku gerakkan jari-jemari untuk menari. Abjad tersusun tak rapi, ditemani segelas kopi, aku mengenang nostalgia malam tadi. Mengenang lelaki itu, dimana salah satu teman ku berkata dengan nada tanya “apakah dia itu orang gila?”. Aku pun beranikan hati menghina diri sendiri dengan berkata “mungkin (aku) juga gila”
Shalawat dan salam pada Paduka, Ya Rasulallah, aku merindukan mu…

Lepas jum’at, menatap benteng dan bidak
Digerakkan teman dengan otak
Terdengar dahsyat beberapa kali berteriak, skak!
Namun sayang, tak juga mat, karena lawannya selalu bertindak
11032010                                             Jam 13.05 Wib

   

Selasa, 09 Maret 2010

Sandal Jepit dan Hati Terhimpit



“bisikan tentang mu telah berkarat,

sulaman hati telah dilipat,

nostalgia tak dapat diingat.

bukan karena pikun,

tapi mata sudah melepas lamun,

dan aku telah mulai menenun"





Harga sepasang sandal jepit ku mungkin tak seberapa. Aku membelinya dari toko sebelah rumah yang penjualnya longgar dalam tawar menawar. Setelah harga sama liur antara aku dengan penjual, ukurannya sandal tak ada yang pas, ada yang kebesaran dan ada yang kekecilan. Tak ada yang benar-benar pas dibelakang dan dimuka. Sipenjual merayuku untuk sabar, dia berlari kebelakang membongkar gudang. Dibawanya empat sandal jepit yang katanya baru, walau ku pandang kelihatan usang. Aku mencobanya satu persatu. Tiga diantaranya terlalu besar dan hampir saja aku batal. Sisa satu yang belum dicoba, ternyata size nya sesuai dengan yang ku cari dan cocok ketika dicoba. Maka, jadilah aku membelinya, seharga sebiji permen bagi orang kaya.

Sandal jepit itu terasa ringan untuk dilangkahkan. Sehabis magrib, beranjak dari pelataran masjid. Tampak semangat untuk segera pulang, ingin membaca pesan yang datang. Sejak tadi memang gelisah, sejak takbir hingga usainya do’a. Terlihat dari gerakan shalat bagai bersilat, bibir komat-kamit terdengar sengit. Jika bisa imam pun ingin diganti, agar tak melantunkan bacaan dengan mendayu karena membuat dada kian memburu. Setelah salam ke kanan dan kiri tak lantas berdiri untuk pergi. Demi menjaga kesopanan masih ikut wiridan, walaupun membaca pelan karena berbagi dengan pikiran. Nah, itulah riwayat ku menyambut petang kemarin. Menanti jawaban tentang sebuah ajakan, lewat sebuah pesan yang ku kirim menjelang adzan.

Ditepian sungai kita janji bersemuka, di sudut jalan yang bangunannya tampak mulai berlumut. Sandal jepit menjadi alas ku menghampiri mu, untuk mendengarkan sebuah keluh kesah. Keresahan yang tampak mengganjal dihati mu, tentang pria sejati. Tanpa terasa kita sudah saling pandang dengan senyuman, dan kau mulai menyapa ku dengan salam.

“ada apa dengan mu, baiknya engkau ceritakan” aku meminta

“engkau laki-laki yang baru ku kenal dalam sebulan, semoga bisa menjadi tempat aku bercerita, tanpa paksa, dan entah dorongan dari mana” ujar mu merona

Bersahutan burung gereja menyanyi, disela itu mulailah kau bercerita. Aku menjadi pendengar setia, dengan sesekali bertanya. Cerahnya langit biru, memudahkan ku mencuri wajah mu, untuk ku tabung disaku hati ku. Diam-diam cerita itu ku rekam, dan ku ringkas dalam catatan harian.


*****

Engkau, gadis kecil nan mungil dari sebuah desa. Datang ke kota kecil ini untuk menjalankan Iqra’ yang diperintahkan-Nya. Engkau kenakan seragam putih abu-abu dengan berjalan kaki, kau sapu debu jalanan sepenuh hati. Setiap hari engkau hanya berkutat dengan pelajaran yang harus dipahami. Hingga suatu waktu ketika sekolah usai menyerahkan ijazah, engkau didekati oleh seorang pria yang sudah kuliah. Pria itu mengenalkan pada mu tentang keindahan kota kecil ini, mengajak mu berjalan bersama teman-teman. Perlahan, laki-laki itu menaruh perasaan pada keindahan paras mu yang elok dan rupawan. Indah rona mu dibalik jilbab putih yang berseri, membuat laki-laki itu terus mencoba untuk mencintai. Engkau tak pernah mengatakan rasa yang serupa, namun sulit sekali hati mu menunaikan pinta untuk mencintainya. Tak ada kata cinta yang kau ungkapkan karena hingga diperguruan tinggi pun tak jua kau rasakan.

Hingga suatu waktu, lelaki itu harus pergi ke seberang sana karena tugas pekerjaan yang tidak boleh dielakkan. Engkau melepasnya dengan kesedihan walau air mata tak kau jatuhkan. Merasa kehilangan sebagai seorang gadis yang ditinggalkan, hanya sebaris do’a yang kau iringkan. Bersama lajunya pesawat yang terbang meninggalkan negeri ini, disaat itu pula benih cinta mulai bersemai. Sayang lelaki itu pergi, kembali lagi engkau pada kesendirian, yang hanya berkutat dengan tugas dan diktat. Melepas kepergiannya dengan mata terbuka dan telinga yang menganga, menanti kapan ia akan kembali menyapa. Selama ia disana tak ada surat yang kau dapat, dan tak ada pesan yang dikirimkan, hingga ayah mu membelikan sebuah telepon genggam. Dia mengetahui nomor ponsel mu dari seorang teman, dan komunikasi pun kembali berjalan diantara kalian.

Di suatu hari yang kelabu, engkau menyapa pria itu lewat sebuah pesan. Namun sayang, seorang perempuan menelpon mu dengan teguran, untuk tidak mengganggu kekasihnya. Engkau terkejut bukan kepalang, karena laki-laki yang mulai bersemai dihati diambil orang. Walaupun cinta tak pernah engkau ucapkan sejak perkenalan hingga ia pergi, namun seharusnya dia telah mengerti bisikan mu selama ini. Cinta yang pernah bersemi mulai layu kembali, karena hati diseberang sana tak lagi menyirami. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, itulah pribahasa yang pas untuk menggambarkan suasana hati mu saat itu. Perlahan dan pasti, mulai hilanglah perasaan yang sempat muncul, terenggut oleh rasa hati yang terpukul.

Siang malam tak lagi kau menghiraukannya, kau kuat dengan sikap yang sigap. Hingga bertahun dari peristiwa itu, kau mengenal seorang pria sejati yang kau cari untuk meluluhkan hati. Kau mencintainya dengan sejuta pesona, pria yang bertanggujawab dan penuh pengertian. Mengayomi mu bagaikan seorang ayah memeluk anaknya yang kedinginan. Kau menjalankan hati mu dengan tak menampakkan rasa, berpura-pura. Engkau mendiamkan cinta di hati dengan segera mengalihkan pandangan mu bila berpapasan dengannya. Jika terpaksa bertatap muka, engkau hanya terlibat dalam canda dan tawa, seakan tiada cinta. Engkau membohongi perasaan mu dengan segala daya upaya. Hingga rasa itu memendam membentuk lingkaran yang memancarkan, namun tak jua kau ungkapkan. Pria yang kau cintai itu tahu bahwa kau punya rasa padanya, dan mungkin dia juga begitu, menurut tebakan mu ketika bercerita pada ku. Setiap pertemuan yang berlangsung dalam sebuah acara, lelaki idaman itu datang dengan membawa pacarnya. Engkau diam tak bisa berkata apa-apa, hanya mengalihkan pandangan mata, menutup hati yang kecewa.

Diam mu bagai disangkar emas, hati indah namun tak bisa mengepakkan sayap. Engkau tetap memilih untuk tidak mengungkapkan, karena hati mu tak ingin menghancurkan hubungannya dengan seorang gadis yang telah terjalin sekian lama. Sungguh perih cinta tak berbalas, walau berusaha belajar ikhlas. Tak ada keikhlasan jika indahnya hati mu disesalkan. ikhlas yang sempurna hanya memberi tanpa berharap untuk berbalas. Setiap dalam keheningan malam, engkau mengadu pada Tuhan untuk mendapat petunjuk jalan keikhlasan. Semuanya tetap berjalan, engkau tak bisa melepaskan, selalu membayang dalam angan. Bersama dengan keikhlasan yang ingin kau dapatkan, pria yang pernah meninggalkan mu pun datang kembali ke kota ini dengan seutas harapan.

Pria yang pernah mengisi hari-hari mu sejak usai berpakaian putih abu-abu, kau sambut tak secerah dulu. Tak ada lagi yang tercecer dihati dari nostalgia yang telah terhapus semua. Kau kembali dalam kekosongan walau dia tetap mengharapkan. Dia ingin berpulang kepangkuan mu, dan berharap hati mu tetap menunggu. Dia berpikir perasaan mu seperti dulu saat pesawat terbang membawanya pergi melaju. Tak pernah dia membayangkan bahwa sekian banyak laki-laki menunggu putusan hati mu. Dia masih meyakini bahwa hanya ada dia yang pernah menyinggahi perasaan mu yang indah dan cerah. Pria berambut lurus ini selalu mengajak mu untuk menikah, membawa mu terbang untuk menghadapi masa depan. Apalah artinya hidup, jika cinta hanya mengandalkan logika tanpa memahami hati, atau sebaliknya. Engkau selalu menolaknya, karena rasa setetespun tak lagi membasahi relung hati. Dia selalu berkilah bahwa selama ini selalu menunggu mu. Engkau merasa perjalanan yang dilakukan, berhenti ditengah jalan ketika semangat mulai menghangat, itu menjadi makna tersendiri hingga menghentikan perjalanan sebagai sebuah keputusan, bahkan hingga membakar peta tujuan. Engkau malah memberinya jalan untuk mempersunting gadis yang lain, karena cintanya tak lagi mempesona. Tanpa kejelasan, air mata pun akhirnya kau teteskan.

Engkau menangis bukan karena lelaki yang pernah meninggalkan mu ke pulau seberang, yang kini telah datang. Ternyata engkau menangis karena pria sejati yang hatinya kau tambat namun tak terjawab. Lelaki yang telah mengenalkan sakitnya arti kecewa mencintai sesama. Lelaki yang mencintai seorang gadis, yang tak lain dan tak bukan kekasihnya itu sahabat mu sendiri. Engkau mencintai kekasih teman sejawat, ibarat pagar hendak makan tanaman. Engkau telah berusaha mengelakkan, namun hati tak dapat dibohongkan. Engkau terus menangis karena merasa sakit untuk diceritakan. Aku turut bersedih namun harus bisa menahan untuk dapat fokus mendengarkan .


*****

Setelah beberapa lama, sandal jepit yang ku kenakan sepertinya terasa menyakitkan. Saat duduk santai dipelataran rumah yang lantainya mulai banyak kebobolan. Diantara lengkungan karet yang menancap pada alasnya terdapat serpihan tajam tak beraturan. Aku menggeliat mengubah posisi kaki, karena tak mau tersakiti. Menyita waktu merapikan sandal jepit tersayang agar nyaman untuk dipakai.

Tiba-tiba, teringat pada suara mu dibalik handphone murah ku beberapa hari yang lalu, yang telah tampak ceria. Engkau sudah sedikit demi sedikit melepaskan goresan hati yang pernah perih. Selain karena engkau mengadu pada Tuhan, luka itu telah sedikit terjahit dengan keceriaan kita berkenalan. Walaupun beberapa kali engkau sempat mengalirkan air dipipi ketika kita larut dalam obrolan. Itu bukan karena aku menyakiti, namun karena aku mengajak mu lebih dewasa dan lebih memahami makna hidup yang sebaiknya-baiknya. Kita seringkali terlibat saling menyarankan, hingga semuanya tanpa terasa berjalan dengan nyaman. Tak ada rasa dihati mu walaupun aku selalu tersipu.

Selayang pandang, pekat malam terhias bias terang, kita menutup perbincangan lewat pesan singkat yang saling berbalas.

“setelah sekian lama aku mengadu pada Tuhan disaat malam, sambil aku menata hati, aku telah mulai ingin membuka diri. Mulai hari ini, dengan keikhlasan yang telah hadir, mengajar ku untuk kembali membuka tabir” isi short message mu di mata ku.

“syukur, semoga itu sebuah jalan, untuk mencapai sempurnanya keikhlasan. Ikhlas adalah kemampuan menerima dengan lapang dada atas sebuah peristiwa yang membuat kecewa” balas pesan ku.

Cantik rembulan diatas atap, tak jua mata ku ingin terlelap. Tadi siang aku telah berjanji pada mu, untuk menuliskan sebuah cerita tentang mu. Walaupun kau tampak ragu, namun aku berhasil meyakinkan mu. Nama mu tetap ku rahasiakan, tak boleh aku sebutkan. Aku hanya menulis sepenggal hati mu, sebuah nama yang telah terbingkai dalam hati ku yang paling dalam. Engkau, seorang gadis berkerudung putih yang kutemukan, dalam kesederhanaan dan kebersahajaan.

Aku duduk diam-diam, rasa ngantuk ku tahan, meskipun air mata mengalir keletihan. Menyelesaikan cerita mu bagi ku sebuah kewajiban, karena janji harus ditunaikan. Sambil melihat jam tangan yang melingkar, aku selesaikan alenia terakhir tentang sejengkal jalan.

Engkau kini telah bisa terlelap dan makan yang lahap. Dengan menyimpan sekeping hati, kau menjalani untuk menemukan sosok pengganti. Engkau telah ditawan dengan seabrek kesibukan dari terbit matahari hingga tenggelam diufuk malam. Mulai sepi guratan kesedihan yang terdengar dari obrolan, walaupun aku tak tahu yang sebenarnya. Gadis, benarkah engkau telah mengikhlaskannya, atau engkau sedang berpura-pura?

Selepas menyimpan sandal jepit yang mulai kembali nyaman bila dikenakan, mata ku tak lagi bisa menahan, ku akhiri saja cerita ini dengan permohonan. Maaf gadis, jika cerita ini tak mewakili hati mu, sehingga tak enak untuk dibaca, apalagi bila dieja…


Usai Bola Dipelupuk Mata

Subuh, Pertama Engkau Yang Ku Sapa

10032010                            05.29 Wib

Sabtu, 06 Maret 2010

Ibu, Ku Lukis Wajah Mu...

Sambil menghadap kiblat
Ku tatap monitor bersahabat
Melukiskan kasih seseorang yang telah beristirahat
Yang telah mengantarkan ku dengan selamat
Ibu, aku merindukan mu….

Darah yang mengalir dari air susu cinta mu
Wajah yang merona dari belaian kasih mu
Kesehatan yang sempurna dari rawatan sayang mu
Hati yang bernurani dari keikhlasan rejeki mu
Akal yang berfikir dari ketulusan pesan mu
Ibu, aku merasakan itu…

Pada ku, engkau pernah bercerita…
Rabu siang kau lahirkan bayi bernyawa
Dengan jenis kelamin pria
Berteman seorang dukun kampung kau taruhkan nyawa
Sebagai anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara
Tanpa banyak kesulitan kau melahirkan dengan segera
Ketika ayah sedang berada di huma
Ketika saudara ku yang lebih tua sedang membantu bekerja
Aku pun lahir kedunia.
Ibu, aku masih merekam cerita mu...

Nakal masa kanak ku
Tentu sangat menyusahkan mu
Rengek dan ronta kebiasaan ku
Hingga bila ayah memukul ku
Engkau diam membisu tanda tak setuju
Ibu, aku tahu maksud mu...

Engkau selalu mengharuskan ku untuk datang mengaji
Agar kelak aku bisa mengirimkan fatihah dan yasin jika jasad mu telah didalam bumi
Engkau tak pernah bosan bangunkan aku untuk segera ke sekolah
Agar kelak aku bisa hidup dengan hati dan fikiran yang terasah
Setiap aku pulang dari sekolah dan madrasah
Engkau sudah pasti sedang berada di sawah bersama ayah
Bekerja dengan tekun tak pernah lelah
Pergi pagi, menjelang maghrib engkau baru tiba di rumah
Dari tangan mu aku lihat tempat makanan, mukenah dan sajadah
Ibu, segar masih diingatan ku...

Saat sekolah menengah pertama aku mencoba membantu
Mengarit rumput dan menjualkan hasil torehan karet mu
Bekerja mengaspal jalan setiap sabtu dan minggu
Mengangkut padi hasil panen itu juga kadang tugas ku
Menggiling hasil panen di sawah sering ku luangkan waktu
Sejak itu aku tahu betapa berat pundak mu
Namun tak pernah aku mendengar engkau mengeluh
Hujan dan panas hanya caping dan dangau tempat mu berteduh
Jika puasa tiba, engkau sangat bangga pada ku
Ketika suara tartil ayat Quran ku di masjid mendayu menghampiri telinga mu
Walaupun engkau tak pernah langsung memuji ku
Namun aku dengar kebanggaan itu dari saudara ku
Ibu, Aku menyaksikan dan mendengar semua itu...

Saat aku disekolah menengah atas, kelas satu
Tidur di surau dan masjid kampung kebiasaan ku
Kadang alpa sekolah engkau pun tak tahu
Hanya bertanya kenaikan kelas jika libur panjang bertemu
Namun aku tetap mencoba membantu mu
Menjadi tukang ojek kegiatan sambilan ku
Sepulang sekolah langsung ganti baju
Hasilnya aku serahkan semuanya pada mu
Sambil menanti kemurahan mu memberi pada ku
Untuk keluar jalan malam minggu
Ibu, engkau selalu mengerti aku...

Ketika sebuah peristiwa itu tiba
Aku bersama mu dalam nuansa yang nestapa
Engkau tampak menua
Dengan mulai banyaknya penyakit yang mendera
Namun aku tak pernah terlena
Menjual koran untuk membantu mencukupi kebutuhan kita
Sebuah cobaan dari Tuhan yang tak pernah disangka
Saat aku mencoba menyelesaikan sekolah menengah yang sempat terputus
Engkau mendorongku agar segera diurus
Hingga aku mendapatkan ijazah tanda lulus
Ibu, engkau sangat tulus pada ku...

Saat aku hendak mendaftar kuliah
Aku minta izin pada mu dengan berbekal ijazah
Bersama satu kemeja dan dua buah celana berwarna biru dan satunya coklat agak merah
Engkau hanya bisa pasrah
Mungkin engkau merasa bersalah
Tak bisa lagi membiayai ku karena mendapat musibah
Namun karena aku telah minum air susu mu, aku mengerti makna pantang menyerah
Aku pun menjalani semuanya tak kenal lelah
Ibu, Pada Allah engaku berdo'a untuk ku...

Ibu…
Aku merindukan cerita mu tentang nenek moyang dan leluhur kita
Aku merindukan cengkerama mu bersama saudara selepas isya
Aku merindukan pelukan mu disaat dinginnya malam tiba
Aku merindukan pesan mu bila kita duduk bersama
Aku merindukan senyum mu saat kita makan sekeluarga
Aku merindukan belaian mu bila aku tertidur dipangkuan
Aku merindukan teguran mu dikala aku berbuat kesalahan
Aku merindukan pembelaan mu dengan diam dikala ayah menghampiri ku dengan rotan
Saat ini, aku merindukan semua yang ada pada mu…

Ibu…
Dalam kebutaan aksara karena sejak balita telah ditinggal kedua orang tua
Engkau telah menyadarkan aku untuk membaca dunia dan isinya
Dalam keseharian sebagai petani yang bekerja di huma
Engkau telah mengajarkan ku untuk bersahaja dan sederhana
Dalam segala keterbatasan yang penuh kejujuran dalam berkata
Engkau telah mendidik ku untuk mengatakan tentang kebenaran dan maknanya
Dalam keluarga yang besar tak mengenal keluarga berencana
Engkau telah mendidik ku untuk saling membantu sesama
Dalam kehidupan yang tidak bergelimang dengan harta
Engkau telah mengajarkan pada ku untuk hidup apa adanya

Ibu…
Aku tepat di samping mu saat maut menjemput
Dengan tenang kau tutupkan mata dan rapatkan mulut
Ada bekas air dimata mu setelah nyawa tiada
Sebagai tanda manusia bahagia diakhir hayatnya
Sebagaimana ungkapan Imam Ghazali dalam karyanya
Jasad mu dimandikan oleh ku bersama saudara yang lainnya
Perlahan dengan lembut aku turut mengkafani, lalu mendirikan shalat
Memikul mu hingga menuju ke liang lahat, membaringkan mu menghadap kiblat
Bertemu Allah Yang Maha Hebat

Ibu, kadang mengalir sungai di pipi mengenang saat…
Menyuapkan mu setiap subuh sejak menjadi pesakitan
Mengangkat tubuh renta mu ketika hendak ke peraduan
Memapah mu berjalan menuju tempat pemandian

Ibu…
Ku cuci kaki mu dengan kembang tujuh rupa
Semoga aku menjadi anak yang berguna
Selalu do’a ku panjatkan untuk mu pada Yang Maha Esa
Dan setiap aku pulang waktu luang, aku tak pernah lupa ke pusara
Membaca yasin dan tahlil dengan tartil ku yang engkau suka

Ibu…
Diantara kita selalu ada cinta
Dalam untaian tangan yang penuh bahagia
Jika manusia boleh menyembah sesama
Maka hanya engkau yang utama untuk ku puja


Merindukan mu…
Menjelang 3 tahun berpulang!
Kamar gelap, 21 Januari 2010

Mengapa Aku Menulis?


Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Tercantum sebagai penulis dalam sebuah kolom yang diterbitkan salah satu media. Tentu, itu tak sekali, namun engkau lupa pastinya berapa kali, sebab hari-hari mengantarkan mu pada ingatan yang diajak pada kelupaan. Tulisannya sempat menarik perhatian mu, walaupun membacanya seringkali tak sampai tuntas, hanya selintas, namanya saja yang membekas. Sempat kau bertanya tentang nama penulis itu pada beberapa orang, namun tak juga pernah engkau mendapat jawaban yang sempurna. Kebanyakan dari mereka yang kau tanya memberikan jawaban yang berbeda. Ada jawaban yang menerka-nerka, atau menyebutkan seenaknya, bahkan ada yang menjawab dengan mengernyitkan dahi saja, pura-pura mengenalnya. Rasa keingintahuan tentang pemilik nama itu pernah menjadi pikiran mu sementara, namun selalu hilang setelah kau pejamkan mata. Setelah datang pagi, pikiran mu tak lagi berdiri tentang sosok itu lagi, pasti telah berganti dengan pikiran baru yang datang menjejali.

Engkau bukan penulis seperti dia, hanya anak jalanan yang pura-pura berwawasan. Kalaupun engkau menulis, itu sekedar menyampaikan ketidaktahuan atau menerka-nerka dengan mengutip sana-sini apa yang disampaikan orang-orang pintar, agar engkau terlihat gagah punya pemikiran. Ah, tak pernah perduli kau pada anggapan orang yang tahu bahwa tulisan mu penuh dengan copy-paste. Kau cuek saja dengan bergaya intelektual padahal tulisan mu berbaris gombal. Kalau ada komentar miring tentang tulisan mu, kau selalu membela diri, bahkan merasa pintar sendiri. Menulis bagi mu sesekali, saat engkau tak punya kerja, karena mengharapkan honornya saja. Kadangkala honornya kau biarkan, tak kau hiraukan kalau masih punya simpanan, namun bila disaku sisa koin recehan segara engkau ke redaksi seperti orang menagih utang. Jika tulisan mu terbit, segera mungkin engkau sibuk menggunting koran, untuk arsip ucap mu kegirangan, bagaikan dokumen perjuangan dirasakan, sungguh kepongahan. Kadang, engkau menulis karena tak dapat memejamkan mata tentu tak berbobot isinya, atau sedang habis membaca sebuah karya yang kau anggap luar biasa, padahal bagi orang-orang sekitar mu referensi itu biasa-biasa saja.

Kembali pada hasrat mu untuk mengenalnya, tak jua kau temukan jawabnya. Siang diselimut malam, malam ditutup bulan, bulan habis berhitung tahun, tahun lepas berganti baru, belum pula kau melihat sosoknya. Media yang memuat namanya sudah jarang kau baca, karena engkau telah berhenti berlangganan. Alasan mu karena media itu hanya lebih mengutamakan kolom iklan daripada berita, padahal sesungguhnya kau berhenti karena loper koran tak lagi mengantarnya. Engkau sering menunggak untuk membayarnya. Bahkan kabarnya, dua bulan terakhir jika ditagih kau selalu pura-pura lupa menyimpan uangnya. Hingga pengantar koran pun berkesimpulan memecat mu menjadi pelanggan. Itu membuat mu tak lagi pernah membaca tulisannya, atau memang dia sudah tak lagi menuliskan gagasan atau pikirannya.

Selayang pandang, waktu berjalan lepaslah ia dari ingatan, penasaran hilang dalam pingitan, kegelisahan terjerembab dalam kesibukan. Walaupun kesibukannya hanya pura-pura agar terlihat sama dengan manusia yang benar-benar sibuk pada profesinya. Engkau melanglang buana, sembilan puluh sembilan persen tak lagi mengingatnya. Tiba-tiba, entah hari apa engkau menelpon seorang sahabat yang belum lama dikenal, bahkan hanya dua kali engkau bersemuka. Bertanya kabar dan berbasa-basi lainnya sambil tertawa. Lalu sahabat mu penuh canda ingin mengenalkan temannya, yang katanya juga seorang penulis seperti mu. Engkaupun segera mananyakan namanya, dan tanpa curiga teman mu menyebutkan sebuah nama. Memori mu bekerja mengingat nama itu, mengorek semua nama yang pernah kau baca dimasa lalu, dan memori mu mengingatnya bahwa pernah mencarinya. Segeralah kau minta nomor teleponnya, dan selepasnya kau segera mengirimkan pesan singkat pada dia, nama yang baru saja kau mengingatnya, pernah terekam sekian lama.

Pesan singkat mu bagikan professor tersohor, sambil menyebutkan nama engkau menyampaikan bahwa engkau seorang penulis yang pasti dikenal olehnya. Dia pura-pura mengenal, mungkin karena tak mau membuat mu malu jika mengatakan tak pernah membacanya. Lalu, hampir menjelang maghrib kau memberanikan diri menghubunginya, mendengarkan salamnya, dan bercerita dengan mengaku diri sebagai penulis. Engkau segara mengatakan bahwa telah lama mencari namanya, namun itu dulu saat jemu belum menghantui karena letih dan lesu mencari namun tetap misteri. Suara disebarang sana mengiyakan dengan keramahan dan canda kecil yang disuguhkan. Hingga kau lupa bahwa adzan maghrib sedang berhembus menuju telinga. Tit, tombol off kau tekan setelah salam penutup kau sampaikan. Tampak berbinar mata mu, tampak riuh gemuruh dada mu karena nama yang pernah dicari kini telah bicara tanpa bersemuka. Ah, tentu tak penting bagi mu, karena suara lebih bermakna daripada bersemuka tanpa mengenalnya.

Namanya kau rekam di dunia maya, berteman dengannya. Setiap waktu luang engkau online selalu melihat diarinya, membaca apa yang sedang difikirkannya, jika berkenan kau mengomentarinya, meskipun hanya bercanda. Tulisannya yang tersimpan dalam seboah blog habis kau baca, kau menyelami sajaknya, kau pahami artikelnya, kau resapi catatan kecilnya. Tak ada kata dari pikiran dan hatinya yang kau lepaskan dari sorot mata, karena jika lepas satu huruf saja bisa beda kau memahaminya. Tulisan-tulisannya yang berkemas, menyampaikan kabar tersendiri tentangnya, walaupun kau belum pernah bersemuka. Ada yang asik dari cara dia membakar semangatnya, merenungkan perjalanan, menyusun rencana, dan mengoreksi dirinya. Hingga ada beberapa judul yang kau ulang membacanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Bukan karena apa, karena engkau terpesona dengan cara dia mengungkapkannya. Semuanya tampak indah walaupun setiap mata atau rasa berbeda dalam meresapinya. Namun, bukankah keindahan adalah nilai tertinggi dari kehidupan manusia?

Tetes hujan berjongkok dipelataran, saat pesan mu masuk padanya untuk bersemuka, namun tak ada jawaban engkau dapatkan. Gelisah tentu kau tunggu jawaban, penasaran berburu, toko buku janji bertemu. Pesan yang dikirim terbalas sudah, tinggal waktu saling tanya untuk mencari masa bersama. Semua berjalan ikuti irama rencana, perlahan tanpa terasa, kau menginjakkan kaki disana, duduk sendiri menunggu kedatangannya. Biografi tebal tentang seorang tokoh pejuang kau letakkan dipangkuan agar engkau dikira pemikir, padahal jika dirumah untuk menyisihkan waktu membaca buku engkau paling kikir. Duduk dengan menyilangkan kaki penuh keseriusan, padahal hari-hari mu hanyalah diisi dengan canda dan gurauan. Engkau kembali berpura-pura, kemarin menulis dengan berpura-pura, sekarang pura-pura membaca, entahlah bisa jadi esok engkau akan pura-pura gila….

Pertemuan mu dengannya penuh obrolan, dari tuturan terlambat datang hingga menjawab teka-teki yang tak silang. Melupakan kesopanan, engkau makan duluan, karena tak bisa menahan lapar. Dengan alasan ingin merasakan tempat makan baru, padahal cacing perut mu sedang menderu. Dia tersenyum saja dan memaklumi kelaparan mu, bahkan dia rela menunggu sambil menghindar dari lambaian asap rokok mu. Layaknya pelayan yang menyajikan dengan cepat, engkau mengunyah nasi dan ikannya secepat kilat, hingga dipiring tersisa tinggal tulang belulang yang mengkilap.

Sisa sepenggal lagi kisah mu, karena ruang yang tersedia sungguh terbatas. Engkau berjalan pulang. Sesekali engkau mencuri pandang, karena untuk menatapnya dengan sempurna engkau tak pernah berani sebenarnya. Kalaupun engkau punya nyali, dia belum tentu mau, karena paras mu tak memiliki rona, apalagi untuk terlihat sedikit saja bercahaya. Itu bisa jadi, walaupun tak ada bukti. Hambat waktu, tak ada kenang jika membisu, engkau tersenyum tersipu malu, namun hati menjadi ragu. Penuh tanya, benarkah itu sosok yang pernah kau cari namanya? Setelah bertemu, entah karena apa sebabnya, engkaupun bingung pegang kepala.

Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Sederhana, dengan sebanyak jari tangan kau bisa menuliskan namanya, dengan selebar telapak tangan engkau dapat lukiskan ranum wajahnya, Dan hanya dengan baris terakhir tangan mengirim pesan engkau telah menemukan keyakinan dalam sebuah pencarian.

Mengapa aku menulis?
Jawabnya untuk mengingatkan mu, bahwa:
Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama…


Pagi Yang (Tak) Jadi Tidur
Cara unik menertawakan kita sendiri…..
11 Februari 2010