Sabtu, 06 Maret 2010

Mengapa Aku Menulis?


Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Tercantum sebagai penulis dalam sebuah kolom yang diterbitkan salah satu media. Tentu, itu tak sekali, namun engkau lupa pastinya berapa kali, sebab hari-hari mengantarkan mu pada ingatan yang diajak pada kelupaan. Tulisannya sempat menarik perhatian mu, walaupun membacanya seringkali tak sampai tuntas, hanya selintas, namanya saja yang membekas. Sempat kau bertanya tentang nama penulis itu pada beberapa orang, namun tak juga pernah engkau mendapat jawaban yang sempurna. Kebanyakan dari mereka yang kau tanya memberikan jawaban yang berbeda. Ada jawaban yang menerka-nerka, atau menyebutkan seenaknya, bahkan ada yang menjawab dengan mengernyitkan dahi saja, pura-pura mengenalnya. Rasa keingintahuan tentang pemilik nama itu pernah menjadi pikiran mu sementara, namun selalu hilang setelah kau pejamkan mata. Setelah datang pagi, pikiran mu tak lagi berdiri tentang sosok itu lagi, pasti telah berganti dengan pikiran baru yang datang menjejali.

Engkau bukan penulis seperti dia, hanya anak jalanan yang pura-pura berwawasan. Kalaupun engkau menulis, itu sekedar menyampaikan ketidaktahuan atau menerka-nerka dengan mengutip sana-sini apa yang disampaikan orang-orang pintar, agar engkau terlihat gagah punya pemikiran. Ah, tak pernah perduli kau pada anggapan orang yang tahu bahwa tulisan mu penuh dengan copy-paste. Kau cuek saja dengan bergaya intelektual padahal tulisan mu berbaris gombal. Kalau ada komentar miring tentang tulisan mu, kau selalu membela diri, bahkan merasa pintar sendiri. Menulis bagi mu sesekali, saat engkau tak punya kerja, karena mengharapkan honornya saja. Kadangkala honornya kau biarkan, tak kau hiraukan kalau masih punya simpanan, namun bila disaku sisa koin recehan segara engkau ke redaksi seperti orang menagih utang. Jika tulisan mu terbit, segera mungkin engkau sibuk menggunting koran, untuk arsip ucap mu kegirangan, bagaikan dokumen perjuangan dirasakan, sungguh kepongahan. Kadang, engkau menulis karena tak dapat memejamkan mata tentu tak berbobot isinya, atau sedang habis membaca sebuah karya yang kau anggap luar biasa, padahal bagi orang-orang sekitar mu referensi itu biasa-biasa saja.

Kembali pada hasrat mu untuk mengenalnya, tak jua kau temukan jawabnya. Siang diselimut malam, malam ditutup bulan, bulan habis berhitung tahun, tahun lepas berganti baru, belum pula kau melihat sosoknya. Media yang memuat namanya sudah jarang kau baca, karena engkau telah berhenti berlangganan. Alasan mu karena media itu hanya lebih mengutamakan kolom iklan daripada berita, padahal sesungguhnya kau berhenti karena loper koran tak lagi mengantarnya. Engkau sering menunggak untuk membayarnya. Bahkan kabarnya, dua bulan terakhir jika ditagih kau selalu pura-pura lupa menyimpan uangnya. Hingga pengantar koran pun berkesimpulan memecat mu menjadi pelanggan. Itu membuat mu tak lagi pernah membaca tulisannya, atau memang dia sudah tak lagi menuliskan gagasan atau pikirannya.

Selayang pandang, waktu berjalan lepaslah ia dari ingatan, penasaran hilang dalam pingitan, kegelisahan terjerembab dalam kesibukan. Walaupun kesibukannya hanya pura-pura agar terlihat sama dengan manusia yang benar-benar sibuk pada profesinya. Engkau melanglang buana, sembilan puluh sembilan persen tak lagi mengingatnya. Tiba-tiba, entah hari apa engkau menelpon seorang sahabat yang belum lama dikenal, bahkan hanya dua kali engkau bersemuka. Bertanya kabar dan berbasa-basi lainnya sambil tertawa. Lalu sahabat mu penuh canda ingin mengenalkan temannya, yang katanya juga seorang penulis seperti mu. Engkaupun segera mananyakan namanya, dan tanpa curiga teman mu menyebutkan sebuah nama. Memori mu bekerja mengingat nama itu, mengorek semua nama yang pernah kau baca dimasa lalu, dan memori mu mengingatnya bahwa pernah mencarinya. Segeralah kau minta nomor teleponnya, dan selepasnya kau segera mengirimkan pesan singkat pada dia, nama yang baru saja kau mengingatnya, pernah terekam sekian lama.

Pesan singkat mu bagikan professor tersohor, sambil menyebutkan nama engkau menyampaikan bahwa engkau seorang penulis yang pasti dikenal olehnya. Dia pura-pura mengenal, mungkin karena tak mau membuat mu malu jika mengatakan tak pernah membacanya. Lalu, hampir menjelang maghrib kau memberanikan diri menghubunginya, mendengarkan salamnya, dan bercerita dengan mengaku diri sebagai penulis. Engkau segara mengatakan bahwa telah lama mencari namanya, namun itu dulu saat jemu belum menghantui karena letih dan lesu mencari namun tetap misteri. Suara disebarang sana mengiyakan dengan keramahan dan canda kecil yang disuguhkan. Hingga kau lupa bahwa adzan maghrib sedang berhembus menuju telinga. Tit, tombol off kau tekan setelah salam penutup kau sampaikan. Tampak berbinar mata mu, tampak riuh gemuruh dada mu karena nama yang pernah dicari kini telah bicara tanpa bersemuka. Ah, tentu tak penting bagi mu, karena suara lebih bermakna daripada bersemuka tanpa mengenalnya.

Namanya kau rekam di dunia maya, berteman dengannya. Setiap waktu luang engkau online selalu melihat diarinya, membaca apa yang sedang difikirkannya, jika berkenan kau mengomentarinya, meskipun hanya bercanda. Tulisannya yang tersimpan dalam seboah blog habis kau baca, kau menyelami sajaknya, kau pahami artikelnya, kau resapi catatan kecilnya. Tak ada kata dari pikiran dan hatinya yang kau lepaskan dari sorot mata, karena jika lepas satu huruf saja bisa beda kau memahaminya. Tulisan-tulisannya yang berkemas, menyampaikan kabar tersendiri tentangnya, walaupun kau belum pernah bersemuka. Ada yang asik dari cara dia membakar semangatnya, merenungkan perjalanan, menyusun rencana, dan mengoreksi dirinya. Hingga ada beberapa judul yang kau ulang membacanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Bukan karena apa, karena engkau terpesona dengan cara dia mengungkapkannya. Semuanya tampak indah walaupun setiap mata atau rasa berbeda dalam meresapinya. Namun, bukankah keindahan adalah nilai tertinggi dari kehidupan manusia?

Tetes hujan berjongkok dipelataran, saat pesan mu masuk padanya untuk bersemuka, namun tak ada jawaban engkau dapatkan. Gelisah tentu kau tunggu jawaban, penasaran berburu, toko buku janji bertemu. Pesan yang dikirim terbalas sudah, tinggal waktu saling tanya untuk mencari masa bersama. Semua berjalan ikuti irama rencana, perlahan tanpa terasa, kau menginjakkan kaki disana, duduk sendiri menunggu kedatangannya. Biografi tebal tentang seorang tokoh pejuang kau letakkan dipangkuan agar engkau dikira pemikir, padahal jika dirumah untuk menyisihkan waktu membaca buku engkau paling kikir. Duduk dengan menyilangkan kaki penuh keseriusan, padahal hari-hari mu hanyalah diisi dengan canda dan gurauan. Engkau kembali berpura-pura, kemarin menulis dengan berpura-pura, sekarang pura-pura membaca, entahlah bisa jadi esok engkau akan pura-pura gila….

Pertemuan mu dengannya penuh obrolan, dari tuturan terlambat datang hingga menjawab teka-teki yang tak silang. Melupakan kesopanan, engkau makan duluan, karena tak bisa menahan lapar. Dengan alasan ingin merasakan tempat makan baru, padahal cacing perut mu sedang menderu. Dia tersenyum saja dan memaklumi kelaparan mu, bahkan dia rela menunggu sambil menghindar dari lambaian asap rokok mu. Layaknya pelayan yang menyajikan dengan cepat, engkau mengunyah nasi dan ikannya secepat kilat, hingga dipiring tersisa tinggal tulang belulang yang mengkilap.

Sisa sepenggal lagi kisah mu, karena ruang yang tersedia sungguh terbatas. Engkau berjalan pulang. Sesekali engkau mencuri pandang, karena untuk menatapnya dengan sempurna engkau tak pernah berani sebenarnya. Kalaupun engkau punya nyali, dia belum tentu mau, karena paras mu tak memiliki rona, apalagi untuk terlihat sedikit saja bercahaya. Itu bisa jadi, walaupun tak ada bukti. Hambat waktu, tak ada kenang jika membisu, engkau tersenyum tersipu malu, namun hati menjadi ragu. Penuh tanya, benarkah itu sosok yang pernah kau cari namanya? Setelah bertemu, entah karena apa sebabnya, engkaupun bingung pegang kepala.

Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama. Sederhana, dengan sebanyak jari tangan kau bisa menuliskan namanya, dengan selebar telapak tangan engkau dapat lukiskan ranum wajahnya, Dan hanya dengan baris terakhir tangan mengirim pesan engkau telah menemukan keyakinan dalam sebuah pencarian.

Mengapa aku menulis?
Jawabnya untuk mengingatkan mu, bahwa:
Engkau bisa mengenalnya karena ia pernah mencantumkan nama…


Pagi Yang (Tak) Jadi Tidur
Cara unik menertawakan kita sendiri…..
11 Februari 2010

0 komentar:

Posting Komentar