Pesan singkat dari mu selalu ku nanti, untuk sebuah isyarat yang berarti. Gadis, engkau mulai menghafalkan jalan pergi, semoga Tuhan selalu mengingatkan mu bahwa aku masih disini. Maaf, semoga ini bukanlah sebuah kesalahan, karena aku mengatakan sebuah keyakinan…….
***
Awalnya, engkau ku kenal melalui abjad yang berserakan dikoran, yang ku ambil satu persatu untuk ku susun menjadi sebuah nama. Ku cari nama itu, walaupun tak pernah ku temui. Mencari sebuah nama dalam kota kecil yang sampahnya berserakan dimana-mana. Hingga pupus ku menemukan mu tiba, dan aku hanya menjadi penanti sebuah nama, perlahan aku melupakannya, karena ingatan yang menuju senja. Nama itu mampu ku ingat setelah disebut seorang sahabat. Dari sebuah nama menjelma dalam bentuk suara yang ku dengar, dari sebuah speaker kecil yang katanya madein Firlandia.
Lepaslah cerita pertama bertatap muka, hingga selanjutnya. Kita sering berpesan singkat dan bercerita lewat suara. Banyak hal yang kita bagi mulai dari pikiran, saran, kritik atau bahkan sekedar canda tawa yang mungkin tak berarti apa-apa. Tanpa sengaja beberapa kali engkau menitikkan air mata. Engkau mengatakan, bahwa aku hanya membuat kesedihan pada mu. Tentu, kau sah menganggap ku begitu. Karena sejak kita kenal, telah tiga kali kau gagal mempertahankan air untuk tetap berada di dalam mata, buncah tumpah meluah.
Kemarin aku melihat tulisan mu di dunia maya, yang beberapa kalimatnya sempat ku tanyakan lewat chatting kita. Aku bertanya karena engkau mengajak ku membacanya, sehingga pantas jika aku bertanya untuk mengetahui makna sebenarnya. Dalam titik dan koma yang kubaca, aku begitu bahagia, karena tulisan mu mulai tampak merona, hidup. Perlahan kau sudah melintasi ruang keterpurukan dan kembali bangkit untuk membuka diri pada sesama. Oh ya, aku lupa, engkau menjelaskannya dengan sederhana hingga aku mudah mengertinya.
Selepas maghrib aku duduk dipelataran. Aku makan sendirian dengan nasi bungkus yang dibelikan seorang teman. Mengandalkan cahaya bulan karena rumah gelap tanpa penerangan. Lalu, aku ingat pesan Konfutze bahwa lebih baik menyalakan seutas lilin daripada mengumpat kegelapan, dan itu ku lakukan. Nikmat ku mengunyah makan sambil ditemani senda gurau yang kau kirim lewat pesan. Kita berkelakar tentang kemampuan menggoreng ikan. Saling membalas pesan pun terus berlangsung hingga rasa lapar telah terlunaskan.
Aku duduk bersama teman-teman dan tertawa tentang menjodohkan dua insan yang tampak malu-malu dan sedang duduk dihadapan kami bersama. Dua anak manusia itu tersipu malu-malu, dan semakin kencanglah ocehan diantara teman-teman yang ingin menjodohkan. Aku terlibat didalamnya, sambil berbaring membalas pesan singkat mu dengan apa adanya. Lama-lama pesan singkat yang diawali dengan senda gurau berubah menjadi sebuah keseriusan.
Kita terlibat pembicaraan tentang keinginan untuk sebuah masa depan. Kau mengatakan rasa yang tak sempurna tentang kehadiran ku yang membawa nuansa jiwa. Engkau masih terus membalas pesan ku dengan bertanya mahar yang bisa ku tepati dengan diakhiri tanda kau bercanda. Dan aku menawar mahar yang kau pinta sambil terus terlibat canda tawa dengan mereka yang terus menjodohkan sepasang manusia. Pembicaraan kita mulai lain setelah kau meminta ku untuk belajar mencintai orang lain. Dengan sejujurnya aku berkata bahwa aku tak bisa, karena keyakinan sudah tak bisa ku elakkan.
Kita terlibat pembicaraan tentang keinginan untuk sebuah masa depan. Kau mengatakan rasa yang tak sempurna tentang kehadiran ku yang membawa nuansa jiwa. Engkau masih terus membalas pesan ku dengan bertanya mahar yang bisa ku tepati dengan diakhiri tanda kau bercanda. Dan aku menawar mahar yang kau pinta sambil terus terlibat canda tawa dengan mereka yang terus menjodohkan sepasang manusia. Pembicaraan kita mulai lain setelah kau meminta ku untuk belajar mencintai orang lain. Dengan sejujurnya aku berkata bahwa aku tak bisa, karena keyakinan sudah tak bisa ku elakkan.
Obrolan perjodohan yang diawali dengan canda tawa berubah menjadi kekesalan diantara salah satunya. Langkah ku menghindar dari ruang bersama menuju kesendirian. Aku melepaskan letih dalam kamar yang gelap, dikala listrik dikota ku sering tersendat. Ada pesan yang ku terima dalam sebuah handphone usang yang ku pegang, seutas kalimat yang tak ku ketahui rasanya saat kau menulisnya, dan aku hanya membisu saat membacanya “Kenapa abang ni terlalu baik?” itu pesan sederhana mu yang tak dapat ku jawab dengan sempurna.
Pesan mu itu sulit untuk ku jawab, karena menyangkut kekuatan fikiran dan hati yang terus diuji. Aku hanya bisa menuliskan kekuatan itu sebagai balasannya. Pesan mu sudah didepan mata, bahwa untuk tidak lagi menjalin sebuah komunikasi sebagai solusi. Ajakan itu karena kebaikan mu sebagai gadis yang tak bisa melihat ku kecewa pada nuansa. Aku berpasrah atas keinginan yang kau ucapkan, karena aku menanamkan keikhlasan yang terus berjalan. Aku tak menyalahkan mu, mungkin aku datang pada waktu yang telat atau pada waktu yang begitu cepat, atau sebagai orang yang kau anggap tak tepat.
Engkau gadis yang terlalu baik, tercermin dari pesan mu yang dikirim pada ku, engkau tak mau terlalu jauh, dengan kau memilih langkah untuk menjauh. Aku tak tahu, apa yang ada dipikiran mu yang sebenarnya, bisa jadi engkau takut untuk diuji, atau engkau khawatir lolos dari ujian itu. Entahlah, aku masih menunggu pesan singkat dari mu….
***
Maaf, jika saat menulis ini aku mengirim pesan singkat tentang subuh yang teduh. Walau ku tahu pesan itu tak mungkin lagi berbalas, namun aku menekan nomor mu dengan ikhlas…..
Gelap, izinkan aku menatap
23 February 2010
0 komentar:
Posting Komentar