Minggu, 21 Februari 2010

Cinta Itu Sekali, Sahabat Ku… (Cerpen)


Engkau datang ke kota tua untuk menimba ilmunya, mendengarkan dongengnya, dan mempelajari budayanya. Semangat mu kala itu sungguh menggelora, banyak perpustakaan kau kunjungi dengan bermodalkan kerangka besi tua yang seringkali menyusahkan mu ditengah kebisingan jalanan. Tak ada saudara atau bahkan teman sekalipun ketika pertama kali kau injakkan kaki disana. Bermodalkan keinginan, engkau datang bersama sejuta harapan. Kau tampak sangat kalem untuk ukuran seorang pria kekinian, supel dan bersahaja. Tak ada keinginan yang berlebihan untuk bergaul ala kota tua, kau asing dengan namanya pergaulan bebas, bahkan tak pernah kau pahami seperti apa bentuknya. Perlahan-lahan engkau pun mulai mengenal dan dikenal oleh teman-teman yang datang ke kampus untuk belajar. Bersamaan dengan perkenalan itu pula maka mulailah cerita hati itu kau lukiskan.

Saat enam bulan pertama engkau tampak gelisah di kota itu, karena hanya sibuk dengan rutinitas layaknya menempati sebuah kota baru, menghafal jalan sambil mencari rumah kontrakan. Tentu itu tak menyenangkan, hingga kau beli peta kota untuk bisa berjalan dengan penuh panduan. Engkau masih canggung terhadap budaya lokal dan keramahan yang ditawarkan, termasuk keelokan para gadisnya. Selanjutnya, perlahan namun pasti kau berkenalan dengan banyak orang dan para gadis yang penuh senyum kembang rupawan. Satu persatu kau jabat tangannya seraya saling menyebutkan nama dengan rupa yang merona. Tampak banyak gadis yang menjabat tangan mu mulai akrab berbincang, jalan bersama, bahkan tak luput kau diundang untuk datang pada pesta yang diadakan oleh salah satu dari mereka. Engkau pun mulai betah berada di kota tua itu, sambil penuh senyum, engkau pun tebarkan pesona yang penuh misteri. Kau tampak alim dimata banyak wanita, yang perlahan-lahan kau jebak hati mereka untuk ingin selalu bersama.

Di kampus kau tampak lugas, berpendapat dan penuh semangat didalam kelas. Diluar kelas, kau selalu bisa menyesuaikan pembicaraan walaupun nada mu santai perlahan. Dengan kelembutan mu kau tarik hati para wanita pada perangkap misteri yang kau miliki. Bahkan tak jarang dari mereka merebahkan tubuhnya dihadapan mu seraya mendesah penuh pasrah. Para gadis itu mulai rindu akan rayuan mu, kebohongan dan atau kegombalan mu yang tak pernah mengungkapkan cinta pada mereka semua. Kau hanya memberikan perhatian yang baik, dan selalu hanya berujar tentang kasih dan sayang, yang mereka maknai bahwa kau mencintainya. Engkau tampak bahagia pada semua yang berjalan, pada dimana kota tua itu tak lagi membosankan bahkan sangat mendamaikan hati mu dengan kemesraan.

Semuanya berjalan melampaui yang kau harapkan, ada nuansa baru yang membuat mu tak lagi menggerutu seperti dulu. Kau kini tak hanya sibuk bicara tentang makalah dan buku melulu, namun telah disibukkan dengan jadwal mesra bersama bunga yang bergonta-ganti parasnya, tingkahnya dan keeratan pelukannya. Kau sibuk menyusun alasan jika diajak kencan oleh dua gadis atau lebih secara bersamaan. Kau menjadi laki-laki yang tak tahu apa gunanya setia dan makna cinta, bahkan untuk mengeja dua kata itu saja, engkau tak bisa.

Engkau menikmati perjalanan yang memuaskan nafas mu, sebagai laki-laki yang banyak diminati. Hampir tak ada halangan berarti dalam usaha mu untuk memikat hati para gadis yang baru engkau kenal, atau sekali pandang menarik bagi mu untuk ditaklukkan. Tak ada yang begitu ruwet atau membutuhkan pengorbanan yang berlebihan, semuanya kau atur semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan jika kau bosan kau lupakan tanpa ada keputusan, cukup menghilang dengan alasan sejuta kesibukan. Hampir semuanya berjalan sesuai apa yang engkau rencanakan dalam urusan menaklukkan hati kaum hawa ini. Dengan pembawaan yang santai, mulai banyak para gadis yang jatuh terkulai dipelukan mu yang mereka rasakan damai. Hingga, pada pertengahan jalan kau temukan bunga yang semerbak wanginya, namun kau tak menyadarinya, bahwa suatu waktu hati mu akan menangis karena kehilangannya.

Bunga itu hanya kau jabat tangannya, seperti biasa saling menyebutkan nama. Bagi mu ia bukan bunga yang kau cari, karena ia biasa saja, ala kadarnya. Gadis pembaca itu kau jadikan teman sejawat, penuh obrolan tanpa rayuan, penuh diskusi tanpa kompromi, penuh alasan tanpa perasaan, setulusnya menjadi teman untuk belajar, layaknya teman pria. Tak ada ungkapan perasaan walaupun engkau berjalan berduaan, semuanya tampak biasa saja, bahkan gadis itu tahu bahwa engkau laki-laki yang banyak simpanannya. Walaupun gadis itu sering menasehati mu, engkau tak pernah ambil tahu, bahkan pura-pura malu meskipun sejuta alasan tetap kau lampirkan dalam pembicaraan. Kau tetap menjalankan agenda menjerat hati wanita yang mempesona, namun gadis yang sedang akrab dengan mu itu tak mau ambil tahu, ia tetap berperan layaknya saudara meskipun mulai ada tetesan rasa dihatinya. Engkaupun mulai tampak serupa, mulai merasa bahwa gadis itu sosok yang mengimbangi ronta kenakalan mu.

Dituntun waktu yang terus menggeliat, gadis itu hanya bisa menyimpan rasa yang berusaha dilawannya. Dia terus melawan rasa yang ada, ketika dihadapannya dia selalu yakin bahwa engkau laki-laki yang sulit untuk berubah dengan hatinya. Dia sadar bahwa laki-laki seperti mu tak bisa diajak untuk bicara tentang cinta dan rumah tangga. Gadis itu tak mau membiarkan dirinya terjebak dalam pelukan laki-laki yang tak pernah mengerti arti kesetiaan. Hingga waktu pun akhirnya mengantarkan si gadis untuk memutuskan, melangsungkan perkawinan, tanpa mu sebagai pasangan. Engkau hanya tersenyum ketika gadis itu menyampaikan niatnya, hidup bersama laki-laki lain yang dikenalnya dengan mengayam mahligai baru. Engkau mempersilahkan tanpa ada beban sedikitpun seakan penuh keikhlasan. Dan berlangsunglah perkawinan itu dengan beribu kemeriahan serta senyuman yang terhias dipelaminan. Engkau hadir ditemani rasa kebahagian seperti semua undangan. Sahabat yang selama ini dekat telah pergi dengan jari yang terikat untuk sehidup semati bersama pria yang dipilihnya, setelah ketidakjelasan sikap mu. Setelah pesta pesta itu usai, engkau masih terus sibuk dengan rutinitas seperti biasa, menemui para selir yang selalu menanti, bahkan ada yang sanggup mati demi dimiliki.

Seiring dengan usainya masa mu menuntut ilmu, engkau bungkus semua pakaian dan kenangan berjalan pulang ke desa mu. Meninggalkan kota tua itu dengan sejuta kalbu dimana disanalah engkau laksana pangeran muda, yang kasih sayang terhadap para selirnya hanya cukup basah dibibir saja. Engkau pulang dengan meninggalkan kehangatan yang terus membekas dihati mereka yang pernah merasakannya. Bahkan engkau pulang, dengan dibekali air mata mereka yang selalu berharap pintunya diketok oleh mu. meski ditengah malam buta. Dan engkaupun terus melangkah pulang...

Kemarin, aku menerima telepon dari mu dipagi hari buta. Kau mengatakan sedang ada dikota ku untuk sebuah kerinduan. Aku bahagia dan berusaha menemukan mu, namun aku tak bisa. Berselang beberapa pergantian siang dan malam engkau kembali mengirimkan pesan singkat untuk bertemu dengan ku, dan aku menyanggupi tanda setuju. Malam mulai menenun kegelapan, dan kita mulai menginjakkan kaki di sebuah warung kopi, engkau hadir telat karena tempat yang tak lagi kau ingat. Dibawah lampion merah kita bercerita, bercengkerama tentang nostalgia, politik, akademik, sahabat, cinta dan segala yang ada pada diri kita berdua. Dan tentang gadis itu yang kau sebut namanya dengan penuh arti, hingga aku paham tentang apa yang ada dihati mu saat ini. Pikiran ku bergerak dan aku tahu makna kehadiran gadis yang satu itu di kota tua bagi mu, engkau daulat dia sebagai sahabat, padahal dialah puja hati yang sebenarnya. Engkau selalu menepis makna kehadirannya hingga akhirnya ia memilih jalannya, melupakan rasa sesungguhnya. Dialah wanita yang sanggup menjinakkan hasrat mu.

Diusia yang mulai memasuki paruh baya, engkau mulai sadar makna hadirnya silam yang penuh cinta. Bunga yang awalnya engkau anggap biasa, ternyata semerbaknya harum mewangi setelah ia pergi. Engkau tampak keletihan dalam untaian cinta sejati yang telah kau lepaskan berlari. Dalam guratan rona mu yang ku terima engkau tampak menyesalinya. Kita lepaskan semua cerita masa lalu hingga bulan ku lihat tertunduk malu, bersinar dengan redup karena hati mu sedang berkabut.

Tanpa sadar, kita duduk dicumbui keremangan bulan, segera engkau lepaskan kenangan, karena gadis di kota tua itu kini telah menjadi ibu, yang telah melahirkan….

Seutas racikan tembakau menyala terjepit ditangan kanan. Untuk sebuah jalan yang panjang, kita reguk kopi perlahan. Maaf kawan, jika sedikit pahit kopi yang ku pesan, karena aku menyesuaikan dengan pengalaman yang kau kisahkan...


Gajah Mada, February 2010

1 komentar:

Anty mengatakan...

hoho...sedih sekali kisahnya...
cinta terlambat ya? benar kata Rasul perempuan yg baik buat laki2 yg baik. walau kita juga gak tahu apa yang ada d hati seseorang

Posting Komentar