Jumat, 12 Februari 2010

Tangis (Cerpen)

Rasa tak pernah bertanya asal usul tangis, karena ia dicipta bersama. Tangis bersemayam dalam sebuah gumpalan. Tangis hanya punya teman yang bernama kesedihan, kadang diundang pada waktu keriangan, itupun sesekali, dan sangat jarang terjadi. Tangis tak pernah mengeluh pada keberadaannya, dia hanya hadir pada makhluk yang mampu memaknai kehidupan, pada cipta yang paham akan kealfaan, dan pada sesuatu yang hidup dalam kecintaan.

Tangis itu indah berbentuk isak yang sering ditemukan dalam kesepian, kesendirian dan keheningan. Disanalah tangis berdzikir, merenung apa yang telah dibuat oleh sang akal dan sang hati. Seringkali bisikan suci di dada yang memicunya, nurani yang mendorongnya, meminta air mata mengalir ke muara yang penuh dengan nuansa, mengadu dan berkeluh kesah pada sesama, dan sangat lebih mulia pada Pemiliknya.

Kemarin, seperti biasa aku berjalan dalam senandung kehidupan, yang semakin ku nyanyikan kian memabukkan. Hingga mabuk kepayang pun tak ku sadarkan, ketiduran. Sebangunnya, aku terlentang dalam kesepian. Lalu tak kusangka dan tak terduga, tangis pun bertandang pada ku, banyak sesenggukannya di imla, terbata-bata hadirnya. Tangis acuh pada letih batin yang ada pada ku, tangis tetap saja berada diatas mimbar dan tak sanggup ku menghentikannya, tak punya tenaga untuk membungkamnya. Lepas rintih tubuh letih yang kian tertatih-tatih, aku pun pasrah mengalah. Hingga ia berhenti sendiri karena aku mengangguk sebagai tanda memahami semua yang dikatakannya. Padahal, aku berpura-pura, karena tangis memaksa, karena terasa berdenyut sakit dikepala.

Perjalanan ku lanjutkan dengan sempoyongan, lalu redup mata ku terkesima pada para pelacur plastik kehidupan, yang membungkukkan kepala hanya karena permata dan singgasana, yang penuh hiruk pikuk, yang bercanda tawa menghamba pada sesama manusia. Lautan manusia yang mencium kaki sang penguasa untuk mendapatkan penghargaan belaka. Lautan manusia yang menerima penghargaan atas keputusannya membuat kebijakan. Lautan manusia yang memanipulasi kebijakan demi untuk membangun istana-istana kecil. Lautan manusia yang menghuni istana kecil untuk memperkosa nilai kemanusiaan. Lautan manusia yang diperkosa pun hanya bisa merintih ganasnya senggama keserakahan. Lautan manusia yang hanya menjadi penonton dari kebiadaban dan kedzaliman. Aku pun menonton drama kemanusiaan itu dengan membesarkan mata, menikmati para pelaku yang membuka paksa pakaian mereka, merenggut paksa milik mereka, menghancurkan paksa hidup mereka, merusak paksa kemerdekaan mereka. Aku hanya diam, bahkan tak sanggup walaupun untuk sekedar bergumam. Aku melihat berjuta kepala penonton tertawa dan terbahak-bahak karena melihat kelicikan tuannya menjadi sutradara, aku pun ikut tertawa namun malu untuk terbahak, karena gigi ku tinggal dua dimuka. Jeda pertunjukkan, para tuan dan puan mengajak penonton berdansa, ku berhasrat menunaikan ajakannya, namun aku lupa cara memainkan kaki dan pinggulnya. Sungguh, aku melupakannya, apalagi maju mundurnya...

Lalu tangispun menghampiri ku lagi dan berkata “hadir ku takkan pernah bermakna, bagi mereka yang terlalu akrab pada gelak dan tawa” ucapnya lirih sambil mencibir ku sehabis menyaksikan para setan berwajah dalang memainkan boneka kemanusiaan. Tangis pergi tanpa permisi, ku biarkan ia berlari tanpa sedikitpun ingin mencegahnya. Sadar ku turun dari ubun-ubun ke bagian muka namun enggan sampai ke ujung kaki. Terasa hidungku menghirup bau busuk yang menyengat di sekujur tubuh ku. Sambil mengingat penyebabnya, terasa bercampuk aduk baunya. Ternyata, sejak menginjak usia tanda remaja aku telah banyak mencintai kebusukan yang tampak menyenangkan, mengajakku pada kebahagiaan, terlihat ramah pada keasikan, hingga mabuk pun tak ku sadari kesesatan, hanya pikiran yang merasa diuntungkan, menjanjikan dan meyakinkan. Tangis sudah lama tak pernah bertamu ke rongga dada purna masa kanak-kanak ku, tak pernah aku mencarinya, jika akan berpapasan dengannya pun tak mau aku menolehnya, apalagi untuk bersemuka, sungguh tak sudi rasanya. Tangis ku jadikan stempel kebodohan dan kelemahan yang tak boleh mempunyai ruang disudut manapun di dalam hidup ku. Bahkan jika ia menumpang sedikit ditahi kuku pun ku merasa risih, dan lantas mengusirnya agar tak mengenalkan ku pada rintih.

Kembali ditengah perjalanan, ku ingin bercermin, berlari ke pasar untuk membelinya. Penampilan ku masih tetap sama, garis pakaian yang dikenakan masih lancip bekas setrikaannya, sepatu sekilap awalnya. Tak terjadi perubahan apa-apa pada muka, hanya terlihat sedikit merah menghiasi antara hitam dan putihnya mata. Itu tak mempengaruhi, aku tetap melangkah membusungkan dada, walaupun sebenarnya aku tak bisa menegakkan tulang belakangku yang memang agak bongkok dari asalnya.

Selepas tujuh tanjung, tujuh gunung dan tujuh samudera aku berjalan, aku menemukan pesona, aku melihatnya dengan membelalakkan mata dan mulut ternganga, terlena pada sepasang mata. Wanita setengah baya dengan pesona kerudung jingga. Ku hampiri untuk menyapa, tak dibalasnya. Aku berusaha menarik pesonanya, ia sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya, biasa saja, tapi sorot matanya tajam memandang ku dengan kecemasan. Aku bertanya namanya, ia hanya menjawab “asssalamu’alaikum” dengan lembutnya, segera ku menjawabnya. Lalu, aku bertanya asalnya, ia tak menjawab apa-apa. Semakin banyak ku ucapkan,tak ada jawaban yang ku dapatkan. Sebelum pergi dia hanya berkata “temuilah tangis dengan segera, makna dunia ada disana”. Aku diam, tangis ku undang namun tak kunjung datang. Aku terus berusaha menghadirkan dengan mengingatnya, namun tak jua tiba, ku paksa tak jua datang tanda. Tangis tak sudi nampaknya, membalas perlakuan ku selama ini terhadapnya, berprasangka.

Aku lupakan wanita itu dengan rasa yang menyesakkan dada, tak puas aku atas lisannya. Tangis yang diharapkan kedatanganya tampak sia-sia. Lalu ku lihat sembilan kucing berjalan bersama, indah warnanya dipelupuk mata. Ku menghampiri dan merangkulnya secara bergantian. Ku cium dan ku peluk sepuasnya dengan belaian yang bergantian pula. Lalu aku merasa ada yang berbeda dari sembilan kucing yang ada, satu darinya mengalami keunikan. Coba ku perhatikan dengan seksama, ternyata delapan kucing berwarna indah tak ada yang berekor, dan satu berwarna kusam membosankan tampak korengan mempunyai ekor. Aku lihat mukanya penuh dengan genangan air mata yang jatuh dari pelupuknya, rasa jijik untuk menyentuhnya. Penasaran ku memanggil hasrat jiwa untuk mengungkap rahasia kekurangannya. Aku bawa sembilan kucing pada seorang petapa, yang alas tidurnya dari anyaman pelepah kurma, yang mencintai pengikutnya melebihi kecintaannya pada dirinya. Aku duduk bersila, tertunduk dihadapnya, menyampaikan salam dan lantas bertanya “Tuan, apa maksud dari sembilan kucing ini, yang satu diantaranya berbeda dari lainnya...” usai ku menghaturkan pertanyaan, manusia suci itu menjawab dengan penuh kesopanan dan keramahan. “...yang satu itulah kucing yang sempurna penciptaannya, dan lebih baik dari delapan lainnya, warna hanyalah fatamorgana, tanda zaman yang kian senja” aku terkejut atas jawabannya, dan ingin kembali bertanya, namun sang Tuan segera menghela “jangan kau bimbang dan ragu atas ucapan ku, temukan kebenaran dengan tangis” dia menyudahi pembicaraan, dan lantas pamit dari hadapan. Aku bisu, kelu, bahkan untuk menjawab salam perpisahan hanya dengan anggukan.

Aku pulang, tak ada lagi yang dapat ku busungkan, bahkan bercermin pun rasanya aku malu. Tidur mengalami keresahan, membaca pun hanya menambah kegelisahan. Siang dan malam silih berganti, aku menanti tangis datang, tak kunjung ia bertandang, hanya sesekali dada terasa berisik, tapi setanpun terasa terus berbisik “jangan kau undang tangis, hanya membuat hidup pesimis” rayunya.

Gemercik air turun pelan-pelan dipelataran saat waktu bercumbu dengan kepekatan, pertanda tetes dari langit turun bergantian. Aku merusak keheningan dengan melepas angin berbau dari sebuah lubang. Dengan langkah malas aku ke pancoran menadah air yang diturunkan makhluk yang terbuat dari cahaya atas perintahNya. Selesai bersuci, ku berdiri mengangkat kedua belah tangan hingga ke telinga, bertutur apa yang telah disabdakan utusanNya, sambil mengulum sisa percikan air di muka, terasa asin dan hangat rasanya...

Ingin Hamba Mencintai Tangis Mu,
Bolehkan Tuhan?

0 komentar:

Posting Komentar