Jumat, 12 Februari 2010

Dulu, Aku dan Ayah...

Aku tulis puisi ini dalam ruang sepi
hanya bunyi tuts menemani sendiri
ingat paras mu yang penuh cinta
ingat rona mu yang bertabur upaya

Dulu...
sejuta pesan kau ucapkan
beribu nasehat kau lafadzkan
namun lepas ku biarkan
dan bahkan sengaja ku lupakan
ku anggap dogma
ku anggap itu cerita
yang telah berbeda zamannya

Dulu...
perintah mengaji aku anggap paksaan
hadir kesekolah itu penyiksaan
sering aku membangkang
atau baru tiba saja segera pulang
penuh amarah kau meradang
dibarengi ayunan rotan sebatang
setiap pukulan bersarang
aku anggap engkau tak pernah sayang

Dulu...
suatu kali saat pulang sekolah dasar kelas satu
sebilah pisau ku todongkan ke leher mu
hingga kau diam penuh membisu
disaat aku marah akan perlakuan mu
disaat hati ku bertukar nafsu
engkau diam
tak ada perlawanan
hingga aku mengantuk sendiri
dan tertidur pulas diatas kursi
pisau engkau letakkan
tak ada kemarahan yang engkau tunjukkan
aku pun melayang

Dulu...
pelajaran ku selalu engkau tanya
namun engkau tak bisa menulis dan membaca
raport sekolah ku tak pernah engkau periksa
hanya selalu bertanya nilai dan absennya berapa
naik kelas atau tidak, cukup itu saja
mengaji engkau wajibkan
sembahyang dan puasa engkau haruskan
bila aku lalai sekali saja engkau ingatkan
bila masih, bertubi pukulan sebagai ganjaran
kau perintahkan aku disunat dalam umur yang masih belia
ketika ada tetangga yang bertanya
engkau jawab dengan seperlunya: "kelak, dia akan tahu manfaatnya"

Dulu...
sejak umurku kau anggap dewasa
kau biarkan aku melanglang buana
kau terus sibuk dengan mengarit rumput dan bekerja di huma
kau lepaskan aku menjadi laki-laki
untuk mandiri di kaki sendiri
tak pernah kau pukul aku sejak itu
namun aku lebih takut pada diam mu

Kemarin...
aku duduk bersama mu dipelataran
selepas maghrib sebelum engkau beranjak ke peraduan
bercengkerama dengan petuah mu yang sangat aku rindukan
sambil mengurut mu pada bahu dan tangan
semua ucapan mu aku dengarkan, dengarkan, dengarkan, dan takkan ku lupakan
tentang berfikir dengan hati dimajunya zaman
mengatakan yang benar dalam kehidupan yang penuh perubahan

Ayah...
aku bahagia diatas perlakuan mu selama ini
setelah ganasnya jaman dan teriknya perjalanan yang dirasai
telah mengingatkan nostalgia cinta diantara kita
dengan pola didik mu yang sungguh terasa
menempa hidup untuk tidak manja
dan berkata apa yang sebenarnya

Ayah...
keterbatasan mu itulah kegigihan mu
dan jika aku ditanya tentang pahlawan
maka engkau, nama pertama yang aku sebutkan

Ayah...
putih rambut mu, seputih kasih mu pada ku




Pelataran, 18 Januari 2010







0 komentar:

Posting Komentar