Selasa, 23 Februari 2010

Mengapa Engkau Terlalu Baik?


Pesan singkat dari mu selalu ku nanti, untuk sebuah isyarat yang berarti. Gadis, engkau mulai menghafalkan jalan pergi, semoga Tuhan selalu mengingatkan mu bahwa aku masih disini. Maaf, semoga ini bukanlah sebuah kesalahan, karena aku mengatakan sebuah keyakinan…….

***

Awalnya, engkau ku kenal melalui abjad yang berserakan dikoran, yang ku ambil satu persatu untuk ku susun menjadi sebuah nama. Ku cari nama itu, walaupun tak pernah ku temui. Mencari sebuah nama dalam kota kecil yang sampahnya berserakan dimana-mana. Hingga pupus ku menemukan mu tiba, dan aku hanya menjadi penanti sebuah nama, perlahan aku melupakannya, karena ingatan yang menuju senja. Nama itu mampu ku ingat setelah disebut seorang sahabat. Dari sebuah nama menjelma dalam bentuk suara yang ku dengar, dari sebuah speaker kecil yang katanya madein Firlandia.

Lepaslah cerita pertama bertatap muka, hingga selanjutnya. Kita sering berpesan singkat dan bercerita lewat suara. Banyak hal yang kita bagi mulai dari pikiran, saran, kritik atau bahkan sekedar canda tawa yang mungkin tak berarti apa-apa. Tanpa sengaja beberapa kali engkau menitikkan air mata. Engkau mengatakan, bahwa aku hanya membuat kesedihan pada mu. Tentu, kau sah menganggap ku begitu. Karena sejak kita kenal, telah tiga kali kau gagal mempertahankan air untuk tetap berada di dalam mata, buncah tumpah meluah.

Kemarin aku melihat tulisan mu di dunia maya, yang beberapa kalimatnya sempat ku tanyakan lewat chatting kita. Aku bertanya karena engkau mengajak ku membacanya, sehingga pantas jika aku bertanya untuk mengetahui makna sebenarnya. Dalam titik dan koma yang kubaca, aku begitu bahagia, karena tulisan mu mulai tampak merona, hidup. Perlahan kau sudah melintasi ruang keterpurukan dan kembali bangkit untuk membuka diri pada sesama. Oh ya, aku lupa, engkau menjelaskannya dengan sederhana hingga aku mudah mengertinya.

Selepas maghrib aku duduk dipelataran. Aku makan sendirian dengan nasi bungkus yang dibelikan seorang teman. Mengandalkan cahaya bulan karena rumah gelap tanpa penerangan. Lalu, aku ingat pesan Konfutze bahwa lebih baik menyalakan seutas lilin daripada mengumpat kegelapan, dan itu ku lakukan. Nikmat ku mengunyah makan sambil ditemani senda gurau yang kau kirim lewat pesan. Kita berkelakar tentang kemampuan menggoreng ikan. Saling membalas pesan pun terus berlangsung hingga rasa lapar telah terlunaskan.

Aku duduk bersama teman-teman dan tertawa tentang menjodohkan dua insan yang tampak malu-malu dan sedang duduk dihadapan kami bersama. Dua anak manusia itu tersipu malu-malu, dan semakin kencanglah ocehan diantara teman-teman yang ingin menjodohkan. Aku terlibat didalamnya, sambil berbaring membalas pesan singkat mu dengan apa adanya. Lama-lama pesan singkat yang diawali dengan senda gurau berubah menjadi sebuah keseriusan. 

Kita terlibat pembicaraan tentang keinginan untuk sebuah masa depan. Kau mengatakan rasa yang tak sempurna tentang kehadiran ku yang membawa nuansa jiwa. Engkau masih terus membalas pesan ku dengan bertanya mahar yang bisa ku tepati dengan diakhiri tanda kau bercanda. Dan aku menawar mahar yang kau pinta sambil terus terlibat canda tawa dengan mereka yang terus menjodohkan sepasang manusia. Pembicaraan kita mulai lain setelah kau meminta ku untuk belajar mencintai orang lain. Dengan sejujurnya aku berkata bahwa aku tak bisa, karena keyakinan sudah tak bisa ku elakkan.

Obrolan perjodohan yang diawali dengan canda tawa berubah menjadi kekesalan diantara salah satunya. Langkah ku menghindar dari ruang bersama menuju kesendirian. Aku melepaskan letih dalam kamar yang gelap, dikala listrik dikota ku sering tersendat. Ada pesan yang ku terima dalam sebuah handphone usang yang ku pegang, seutas kalimat yang tak ku ketahui rasanya saat kau menulisnya, dan aku hanya membisu saat membacanya “Kenapa abang ni terlalu baik?” itu pesan sederhana mu yang tak dapat ku jawab dengan sempurna.

Pesan mu itu sulit untuk ku jawab, karena menyangkut kekuatan fikiran dan hati yang terus diuji. Aku hanya bisa menuliskan kekuatan itu sebagai balasannya. Pesan mu sudah didepan mata, bahwa untuk tidak lagi menjalin sebuah komunikasi sebagai solusi. Ajakan itu karena kebaikan mu sebagai gadis yang tak bisa melihat ku kecewa pada nuansa. Aku berpasrah atas keinginan yang kau ucapkan, karena aku menanamkan keikhlasan yang terus berjalan. Aku tak menyalahkan mu, mungkin aku datang pada waktu yang telat atau pada waktu yang begitu cepat, atau sebagai orang yang kau anggap tak tepat.

Engkau gadis yang terlalu baik, tercermin dari pesan mu yang dikirim pada ku, engkau tak mau terlalu jauh, dengan kau memilih langkah untuk menjauh. Aku tak tahu, apa yang ada dipikiran mu yang sebenarnya, bisa jadi engkau takut untuk diuji, atau engkau khawatir lolos dari ujian itu. Entahlah, aku masih menunggu pesan singkat dari mu….

***

Maaf, jika saat menulis ini aku mengirim pesan singkat tentang subuh yang teduh. Walau ku tahu pesan itu tak mungkin lagi berbalas, namun aku menekan nomor mu dengan ikhlas…..


Gelap, izinkan aku menatap
23 February 2010

Minggu, 21 Februari 2010

Cinta Itu Sekali, Sahabat Ku… (Cerpen)


Engkau datang ke kota tua untuk menimba ilmunya, mendengarkan dongengnya, dan mempelajari budayanya. Semangat mu kala itu sungguh menggelora, banyak perpustakaan kau kunjungi dengan bermodalkan kerangka besi tua yang seringkali menyusahkan mu ditengah kebisingan jalanan. Tak ada saudara atau bahkan teman sekalipun ketika pertama kali kau injakkan kaki disana. Bermodalkan keinginan, engkau datang bersama sejuta harapan. Kau tampak sangat kalem untuk ukuran seorang pria kekinian, supel dan bersahaja. Tak ada keinginan yang berlebihan untuk bergaul ala kota tua, kau asing dengan namanya pergaulan bebas, bahkan tak pernah kau pahami seperti apa bentuknya. Perlahan-lahan engkau pun mulai mengenal dan dikenal oleh teman-teman yang datang ke kampus untuk belajar. Bersamaan dengan perkenalan itu pula maka mulailah cerita hati itu kau lukiskan.

Saat enam bulan pertama engkau tampak gelisah di kota itu, karena hanya sibuk dengan rutinitas layaknya menempati sebuah kota baru, menghafal jalan sambil mencari rumah kontrakan. Tentu itu tak menyenangkan, hingga kau beli peta kota untuk bisa berjalan dengan penuh panduan. Engkau masih canggung terhadap budaya lokal dan keramahan yang ditawarkan, termasuk keelokan para gadisnya. Selanjutnya, perlahan namun pasti kau berkenalan dengan banyak orang dan para gadis yang penuh senyum kembang rupawan. Satu persatu kau jabat tangannya seraya saling menyebutkan nama dengan rupa yang merona. Tampak banyak gadis yang menjabat tangan mu mulai akrab berbincang, jalan bersama, bahkan tak luput kau diundang untuk datang pada pesta yang diadakan oleh salah satu dari mereka. Engkau pun mulai betah berada di kota tua itu, sambil penuh senyum, engkau pun tebarkan pesona yang penuh misteri. Kau tampak alim dimata banyak wanita, yang perlahan-lahan kau jebak hati mereka untuk ingin selalu bersama.

Di kampus kau tampak lugas, berpendapat dan penuh semangat didalam kelas. Diluar kelas, kau selalu bisa menyesuaikan pembicaraan walaupun nada mu santai perlahan. Dengan kelembutan mu kau tarik hati para wanita pada perangkap misteri yang kau miliki. Bahkan tak jarang dari mereka merebahkan tubuhnya dihadapan mu seraya mendesah penuh pasrah. Para gadis itu mulai rindu akan rayuan mu, kebohongan dan atau kegombalan mu yang tak pernah mengungkapkan cinta pada mereka semua. Kau hanya memberikan perhatian yang baik, dan selalu hanya berujar tentang kasih dan sayang, yang mereka maknai bahwa kau mencintainya. Engkau tampak bahagia pada semua yang berjalan, pada dimana kota tua itu tak lagi membosankan bahkan sangat mendamaikan hati mu dengan kemesraan.

Semuanya berjalan melampaui yang kau harapkan, ada nuansa baru yang membuat mu tak lagi menggerutu seperti dulu. Kau kini tak hanya sibuk bicara tentang makalah dan buku melulu, namun telah disibukkan dengan jadwal mesra bersama bunga yang bergonta-ganti parasnya, tingkahnya dan keeratan pelukannya. Kau sibuk menyusun alasan jika diajak kencan oleh dua gadis atau lebih secara bersamaan. Kau menjadi laki-laki yang tak tahu apa gunanya setia dan makna cinta, bahkan untuk mengeja dua kata itu saja, engkau tak bisa.

Engkau menikmati perjalanan yang memuaskan nafas mu, sebagai laki-laki yang banyak diminati. Hampir tak ada halangan berarti dalam usaha mu untuk memikat hati para gadis yang baru engkau kenal, atau sekali pandang menarik bagi mu untuk ditaklukkan. Tak ada yang begitu ruwet atau membutuhkan pengorbanan yang berlebihan, semuanya kau atur semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan jika kau bosan kau lupakan tanpa ada keputusan, cukup menghilang dengan alasan sejuta kesibukan. Hampir semuanya berjalan sesuai apa yang engkau rencanakan dalam urusan menaklukkan hati kaum hawa ini. Dengan pembawaan yang santai, mulai banyak para gadis yang jatuh terkulai dipelukan mu yang mereka rasakan damai. Hingga, pada pertengahan jalan kau temukan bunga yang semerbak wanginya, namun kau tak menyadarinya, bahwa suatu waktu hati mu akan menangis karena kehilangannya.

Bunga itu hanya kau jabat tangannya, seperti biasa saling menyebutkan nama. Bagi mu ia bukan bunga yang kau cari, karena ia biasa saja, ala kadarnya. Gadis pembaca itu kau jadikan teman sejawat, penuh obrolan tanpa rayuan, penuh diskusi tanpa kompromi, penuh alasan tanpa perasaan, setulusnya menjadi teman untuk belajar, layaknya teman pria. Tak ada ungkapan perasaan walaupun engkau berjalan berduaan, semuanya tampak biasa saja, bahkan gadis itu tahu bahwa engkau laki-laki yang banyak simpanannya. Walaupun gadis itu sering menasehati mu, engkau tak pernah ambil tahu, bahkan pura-pura malu meskipun sejuta alasan tetap kau lampirkan dalam pembicaraan. Kau tetap menjalankan agenda menjerat hati wanita yang mempesona, namun gadis yang sedang akrab dengan mu itu tak mau ambil tahu, ia tetap berperan layaknya saudara meskipun mulai ada tetesan rasa dihatinya. Engkaupun mulai tampak serupa, mulai merasa bahwa gadis itu sosok yang mengimbangi ronta kenakalan mu.

Dituntun waktu yang terus menggeliat, gadis itu hanya bisa menyimpan rasa yang berusaha dilawannya. Dia terus melawan rasa yang ada, ketika dihadapannya dia selalu yakin bahwa engkau laki-laki yang sulit untuk berubah dengan hatinya. Dia sadar bahwa laki-laki seperti mu tak bisa diajak untuk bicara tentang cinta dan rumah tangga. Gadis itu tak mau membiarkan dirinya terjebak dalam pelukan laki-laki yang tak pernah mengerti arti kesetiaan. Hingga waktu pun akhirnya mengantarkan si gadis untuk memutuskan, melangsungkan perkawinan, tanpa mu sebagai pasangan. Engkau hanya tersenyum ketika gadis itu menyampaikan niatnya, hidup bersama laki-laki lain yang dikenalnya dengan mengayam mahligai baru. Engkau mempersilahkan tanpa ada beban sedikitpun seakan penuh keikhlasan. Dan berlangsunglah perkawinan itu dengan beribu kemeriahan serta senyuman yang terhias dipelaminan. Engkau hadir ditemani rasa kebahagian seperti semua undangan. Sahabat yang selama ini dekat telah pergi dengan jari yang terikat untuk sehidup semati bersama pria yang dipilihnya, setelah ketidakjelasan sikap mu. Setelah pesta pesta itu usai, engkau masih terus sibuk dengan rutinitas seperti biasa, menemui para selir yang selalu menanti, bahkan ada yang sanggup mati demi dimiliki.

Seiring dengan usainya masa mu menuntut ilmu, engkau bungkus semua pakaian dan kenangan berjalan pulang ke desa mu. Meninggalkan kota tua itu dengan sejuta kalbu dimana disanalah engkau laksana pangeran muda, yang kasih sayang terhadap para selirnya hanya cukup basah dibibir saja. Engkau pulang dengan meninggalkan kehangatan yang terus membekas dihati mereka yang pernah merasakannya. Bahkan engkau pulang, dengan dibekali air mata mereka yang selalu berharap pintunya diketok oleh mu. meski ditengah malam buta. Dan engkaupun terus melangkah pulang...

Kemarin, aku menerima telepon dari mu dipagi hari buta. Kau mengatakan sedang ada dikota ku untuk sebuah kerinduan. Aku bahagia dan berusaha menemukan mu, namun aku tak bisa. Berselang beberapa pergantian siang dan malam engkau kembali mengirimkan pesan singkat untuk bertemu dengan ku, dan aku menyanggupi tanda setuju. Malam mulai menenun kegelapan, dan kita mulai menginjakkan kaki di sebuah warung kopi, engkau hadir telat karena tempat yang tak lagi kau ingat. Dibawah lampion merah kita bercerita, bercengkerama tentang nostalgia, politik, akademik, sahabat, cinta dan segala yang ada pada diri kita berdua. Dan tentang gadis itu yang kau sebut namanya dengan penuh arti, hingga aku paham tentang apa yang ada dihati mu saat ini. Pikiran ku bergerak dan aku tahu makna kehadiran gadis yang satu itu di kota tua bagi mu, engkau daulat dia sebagai sahabat, padahal dialah puja hati yang sebenarnya. Engkau selalu menepis makna kehadirannya hingga akhirnya ia memilih jalannya, melupakan rasa sesungguhnya. Dialah wanita yang sanggup menjinakkan hasrat mu.

Diusia yang mulai memasuki paruh baya, engkau mulai sadar makna hadirnya silam yang penuh cinta. Bunga yang awalnya engkau anggap biasa, ternyata semerbaknya harum mewangi setelah ia pergi. Engkau tampak keletihan dalam untaian cinta sejati yang telah kau lepaskan berlari. Dalam guratan rona mu yang ku terima engkau tampak menyesalinya. Kita lepaskan semua cerita masa lalu hingga bulan ku lihat tertunduk malu, bersinar dengan redup karena hati mu sedang berkabut.

Tanpa sadar, kita duduk dicumbui keremangan bulan, segera engkau lepaskan kenangan, karena gadis di kota tua itu kini telah menjadi ibu, yang telah melahirkan….

Seutas racikan tembakau menyala terjepit ditangan kanan. Untuk sebuah jalan yang panjang, kita reguk kopi perlahan. Maaf kawan, jika sedikit pahit kopi yang ku pesan, karena aku menyesuaikan dengan pengalaman yang kau kisahkan...


Gajah Mada, February 2010

Jumat, 19 Februari 2010

Tanpa Sengaja

Jum'at yang manis
dikunjungi waktu yang mengiris
dari canda tawa menjadi gerimis
dari ruang yang sempit aku berkata
tanpa untuk disengaja
Maaf, aku tak bermaksud
membuat hati mu kusut
apalagi untuk membentuk larut

Dalam canda yang ku niatkan
tertumpahlah lahar yang terpendam
yang selalu kau simpan diam-diam
hingga kau tak sanggup menahan
bayang-bayang yang mengejar
merebahkan kekuatan diri yang tampak tegar
hingga engkau baru sadar
bahwa ikhlas mu sebatas kabar
menghardik sabar

mungkin, wajar engkau marah pada ku
tapi perlu engkau tahu
bahwa canda ku menemukan kesadaran baru mu
pada suatu waktu
diruang yang bisu 

Canda yang berlebihan, katanya...
19 Februari 2010

Jumat, 12 Februari 2010

Tanpa, Aku...


Izinkan Tuhan
aku duduk sendiri
menengahi pikiran dan hati
disini
tanpa kata, karena suara tak mewakili jiwa
tanpa tulis, karena abjad dilunturkan gerimis
tanpa gerak, karena semangat tak lagi menghentak
tanpa renung, karena waktu tak bisa membendung
disini
menengahi pikiran dan hati
aku duduk sendiri
Bolehkan Tuhan?

Dulu, Aku dan Ayah...

Aku tulis puisi ini dalam ruang sepi
hanya bunyi tuts menemani sendiri
ingat paras mu yang penuh cinta
ingat rona mu yang bertabur upaya

Dulu...
sejuta pesan kau ucapkan
beribu nasehat kau lafadzkan
namun lepas ku biarkan
dan bahkan sengaja ku lupakan
ku anggap dogma
ku anggap itu cerita
yang telah berbeda zamannya

Dulu...
perintah mengaji aku anggap paksaan
hadir kesekolah itu penyiksaan
sering aku membangkang
atau baru tiba saja segera pulang
penuh amarah kau meradang
dibarengi ayunan rotan sebatang
setiap pukulan bersarang
aku anggap engkau tak pernah sayang

Dulu...
suatu kali saat pulang sekolah dasar kelas satu
sebilah pisau ku todongkan ke leher mu
hingga kau diam penuh membisu
disaat aku marah akan perlakuan mu
disaat hati ku bertukar nafsu
engkau diam
tak ada perlawanan
hingga aku mengantuk sendiri
dan tertidur pulas diatas kursi
pisau engkau letakkan
tak ada kemarahan yang engkau tunjukkan
aku pun melayang

Dulu...
pelajaran ku selalu engkau tanya
namun engkau tak bisa menulis dan membaca
raport sekolah ku tak pernah engkau periksa
hanya selalu bertanya nilai dan absennya berapa
naik kelas atau tidak, cukup itu saja
mengaji engkau wajibkan
sembahyang dan puasa engkau haruskan
bila aku lalai sekali saja engkau ingatkan
bila masih, bertubi pukulan sebagai ganjaran
kau perintahkan aku disunat dalam umur yang masih belia
ketika ada tetangga yang bertanya
engkau jawab dengan seperlunya: "kelak, dia akan tahu manfaatnya"

Dulu...
sejak umurku kau anggap dewasa
kau biarkan aku melanglang buana
kau terus sibuk dengan mengarit rumput dan bekerja di huma
kau lepaskan aku menjadi laki-laki
untuk mandiri di kaki sendiri
tak pernah kau pukul aku sejak itu
namun aku lebih takut pada diam mu

Kemarin...
aku duduk bersama mu dipelataran
selepas maghrib sebelum engkau beranjak ke peraduan
bercengkerama dengan petuah mu yang sangat aku rindukan
sambil mengurut mu pada bahu dan tangan
semua ucapan mu aku dengarkan, dengarkan, dengarkan, dan takkan ku lupakan
tentang berfikir dengan hati dimajunya zaman
mengatakan yang benar dalam kehidupan yang penuh perubahan

Ayah...
aku bahagia diatas perlakuan mu selama ini
setelah ganasnya jaman dan teriknya perjalanan yang dirasai
telah mengingatkan nostalgia cinta diantara kita
dengan pola didik mu yang sungguh terasa
menempa hidup untuk tidak manja
dan berkata apa yang sebenarnya

Ayah...
keterbatasan mu itulah kegigihan mu
dan jika aku ditanya tentang pahlawan
maka engkau, nama pertama yang aku sebutkan

Ayah...
putih rambut mu, seputih kasih mu pada ku




Pelataran, 18 Januari 2010







Negeri (Tanpa) Korupsi

“power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely”

Ungkapan Lord Acton tersebut mencerminkan arus kekuasaan sebagai muara penyalahgunaan wewenang. Prilaku menyimpang yang dikenal dengan istilah KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) terus menjadi persoalan yang mengakar. Tidak hanya terjadi pada negera-negara miskin atau berkembang belaka, namun juga terjadi pada negara maju sekalipun. Hal ini menyiratkan tentu korupsi bukan hanya pada kelemahan sistem yang diterapkan namun turut pula pada persoalan moralitas. Namun dalam konteks tatanan kenegaraan maka sistem yang digunakan lebih menjadi sorotan, karena sistem pemerintahan memuat berbagai aturan dan sanksi serta evaluasi. Kelemahan pada pola transaparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan persoalan urgen yang harus terus diperbaharui. Pola pembaharuan birokrasi dari level pusat hingga tingkat desa sesegera mungkin untuk dilakukan.

Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Mulai dari kebijakan yang sifatnya internal (kalangan birokrat) hingga pada persoalan publik. Korupsi sangat berpotensi dalam tingkat birokrasi yang sentralistik, namun akan turut pula menjadi sebaran pada masyarakat sendiri. Secara langsung prilaku korupsi pada tingkat birokrasi yang lebih tinggi akan mudah dicontoh oleh penyelenggara birokrasi dibawahnya. Kelaziman terjadinya korupsi lebih pada adanya pertukaran antara aksi politik dengan kepentingan ekonomi dalam lingkaran kekuasaan. Seringkali yang muncul adalah penyalahgunaan keuangan negara atau proses jabatan yang didapat dengan menggunakan uang. Kasus-kasus korupsi yang selama ini ditangani lembaga hukum berbungkus pada dua hal tersebut. Sehingga penyakit “menular” itu hampir terjadi pada semua level birokrasi yang berurusan dengan uang rakyat, bahkan di lumbung wakil rakyat (DPR) sekalipun.

Didalam negeri berbagai peristiwa tindak pidana korupsi jauh lebih serius berada dibawah jenjang kekuasaan dan politik. Proses keterlibatannya lebih pada pemegang kebijakan baik ditingkat ekskutif, legislatif dan yudikatif. Persekongkolan pada level struktural seperti ini berlangsung sudah cukup lama layaknya prilaku korupsi pada sebagian masa kerajaan di negeri ini. Modus prilaku korup pada penggunaan jabatan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan, atau dengan kekuatan kekayaan untuk mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam jabatan. Pada level daerah sekalipun persekongkolan semacam ini sudah tampak biasa terlihat, seperti halnya bantuan dana sosial yang sekarang sedang menjadi polemik di propinsi tercinta ini. Ketidakberesan pada anggaran daerah sebenarnya merupakan penyakit lama yang terus dipelihara sejak jaman orde baru, artinya warisan yang belum ditinggalkan. wakil rakyat yang duduk cenderung lemah untuk bisa menjadi oposisi dalam konteks mengawasi pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya, wakil rakyat melakukan lobby secara praktis guna mendapatkan keuntungan pribadi. Pergumulan yang sering dijadikan ajang persekongkolan pada arena pembahasan APBD di daerah, dimana bentuk transparansi dalam penyusunan APBD hanya berdasarkan kesepakatan diatas meja belaka. Anehnya lagi, banyak wakil rakyat yang masih menganggap RAPBD sebagai rahasia negara, tentu hal ini tidak lucu bahkan miris untuk didengar. Keterbatasan para wakil rakyat pada pemahaman transparansi APBD semacam ini akan membawa dampak pada sejauh mana berbagai anggaran pembangunan daerah tersebut tepat guna dan berhasil daya. Proses penyerapan aspirasi pada masyarakat hanya dilakukan secara formalitas melalui masa reses yang turut dianggarkan dalam APBD, dan seringkali pula aspirasi pembangunan tersebut tidak termuat dalam penyusunan anggaran keuangan daerah.

Lebih jauh, seringkali terjadi usaha pribadi dalam menekan kebijakan umum guna mendapatkan keuntungan direstui, seperti yang diungkapkan oleh Jean Rousseau sebagai “sifat bawaan korupsi”. Usaha semacam ini merujuk pada adanya keinginan pribadi atau kelompok pada bagaimana uang rakyat dicuri atas nama legalitas kebijakan. Kasus dugaan korupsi yang menimpa pemangku jabatan strategis disalah satu kabupaten di Kalbar baru-baru ini bisa jadi sudah biasa diterapkan oleh pemangku jabatan lain di propinsi ini, namun baru hari ini ada yang tertangkap basah. Berbagai contoh kasus korupsi yang terkabar dari media merupakan cerminan tatanan birokrasi dan politik yang begitu kental membungkus berbagai pola kebijakan yang dilahirkan dengan moral yang sangat rendah. kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah dalam proses membuat kebijakan adalah rendahnya memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk ikut menentukannya. Kalaupun ada ruang yang diberikan, hanya melibatkan unsur masyarakat yang mudah dikendalikan sebagai pemenuhan syarat tahapan proses tersebut dilaksanakan. Secara umum proses semacam ini tentu tidak menjawab substansi persoalan yang dihadapi masyarakat, melainkan hanya melahirkan langkah awal peluang korupsi menganga dengan lebarnya. Hal demikian terjadi karena substansi untuk melahirkan kepentingan umum dihilangkan, diganti menjadi pengendalian kebijakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Prilaku korup dengan merampas hak-hak rakyat merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebagaimana kata Nietzsche ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin, karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan. Dalam jangka panjang, guna memerangi prilaku korupsi yang menggila ini dituntut adanya strukturalisasi partisipasi dan aksi pengorganisasian yang baik. Perhatian semua kalangan untuk fokus pada berbagai bentuk korupsi harus dilakukan. Fungsi semacam ini tentu menjadi tanggungjawab semua elemen negeri, terlebih lagi partai politik, karena korupsi biasanya tumbuh subur dalam situasi yang tidak teratur (transisi), dimana stabilitas hubungan kerjasama antar berbagai kelompok cenderung rendah. Partai politik merupakan lembaga politik yang harus mampu membangun peran dan menjadi “jembatan” kokoh dalam pengorganisasian untuk tujuan kepentingan umum. Fungsi tersebut harus dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengontrol secara langsung melalui transformasi politik pada anggota partainya di parlemen. Fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi hendaknya dilakukan dengan sebenarnya oleh para anggota partai guna menggiring korupsi dalam negeri pada level terendah. Jika tidak, maka partai politik hanya menjadi bagian dari pusaran korupsi, tidak hanya secara praktis pada langkah politik belaka namun pada idealisme kepartaian yang dibangun pula. Dengan demikian, maka harapan hanya akan ditumpukan pada gerakan civil society oleh lembaga masyarakat dan mahasiswa serta media belaka. Potret tersebut dapat kita lihat pada situasi akhir-akhir ini yang terjadi di dalam negeri. Gerakan elemen masyarakat telah mengganti peran yang seharusnya dilakukan partai politik yang dikenal dengan parlemen jalanan. Disatu sisi hal ini tentu sebuah kemajuan yang berarti, namun sekaligus “kebangkrutan” gerakan partai politik sendiri dalam sebuah negeri.

Revolusi Anti Korupsi
Nuansa demokrasi yang terbangun dalam tatanan pemerintah terlihat hanya menampilkan potret kesuraman. Penegakkan hukum atas pelaku korupsi yang seharusnya menjadi komitmen bersama tampak setengah hati. Dengan demikian perlu sistem hukum baru guna memberi efek jera terhadap seluruh pelakunya, semisal dengan hukuman mati bagi yang terbukti dan syah secara hukum melakukannya. Berbagai toleransi kejahatan para penguasa melalui “permainan” politik yang dibuat oleh para pemimpin dalam penegakkan hukum. Belum lagi ditambah tebang pilih para pelakunya, dalam bahasa lain para birokrat level tinggi hampir tidak tersentuh dalam pemberantasannya. Kalaupun ada penanganan secara hukum pun belum mampu bekerja dengan optimal dan profesional. Jika hal ini terus terjadi, maka negeri ini akan terjebak pada kleptokrasi yang diperkenalkan Stanislav Andreski (Kleptocracy or Corruption as a System of Government, 1968). Untuk keluar dari jebakan kleptokrasi ini maka hanya revolusi yang diyakini sebagai solusi. Revolusi yang melibatkan kesadaran seluruh masyarakat, bahwa begitu bobroknya dan hancurnya alur birokrasi dan politik yang telah kita anut melalui sistem yang dibangun. Perlu sesuatu yang baru guna membangun negeri yang terbebas dari segala bentuk prilaku korupsi. Perilaku para “kaisar tua” yang selama ini menjadi lingkaran pengendali arus kekuasaan harus mampu disingkirkan, butuh kekuatan masyarakat baru untuk membangun negeri gemah ripah loh jinawi aman tentram kertaraharja. Membangun negeri dimana prilaku korupsi mendapat ganjaran halal untuk dihabisi, sekecil apapun uang rakyat yang dimakannya. Mungkin dengan jalan ini kejayaan nusantara akan benar-benar tercipta, tidak lagi hanya mimpi yang ditebarkan melalui janji para pemimpin seperti kemarin, hari ini, bahkan sampai seribu tahun lagi, hanya menjadi sebuah janji yang tiada bertali. Revolusi anti korupsi hendaknya dilakukan sedini mungkin untuk membangun sebuah harapan masa depan. Masa hadapan bukan hanya untuk kita hari ini, tapi untuk anak cucu kita, buat masa depan rakyat yang lebih bermartabat. Untuk kemaslahatan ummat, revolusi bukanlah sesuatu yang haram dihadapan Tuhan, bukan?

Tangis (Cerpen)

Rasa tak pernah bertanya asal usul tangis, karena ia dicipta bersama. Tangis bersemayam dalam sebuah gumpalan. Tangis hanya punya teman yang bernama kesedihan, kadang diundang pada waktu keriangan, itupun sesekali, dan sangat jarang terjadi. Tangis tak pernah mengeluh pada keberadaannya, dia hanya hadir pada makhluk yang mampu memaknai kehidupan, pada cipta yang paham akan kealfaan, dan pada sesuatu yang hidup dalam kecintaan.

Tangis itu indah berbentuk isak yang sering ditemukan dalam kesepian, kesendirian dan keheningan. Disanalah tangis berdzikir, merenung apa yang telah dibuat oleh sang akal dan sang hati. Seringkali bisikan suci di dada yang memicunya, nurani yang mendorongnya, meminta air mata mengalir ke muara yang penuh dengan nuansa, mengadu dan berkeluh kesah pada sesama, dan sangat lebih mulia pada Pemiliknya.

Kemarin, seperti biasa aku berjalan dalam senandung kehidupan, yang semakin ku nyanyikan kian memabukkan. Hingga mabuk kepayang pun tak ku sadarkan, ketiduran. Sebangunnya, aku terlentang dalam kesepian. Lalu tak kusangka dan tak terduga, tangis pun bertandang pada ku, banyak sesenggukannya di imla, terbata-bata hadirnya. Tangis acuh pada letih batin yang ada pada ku, tangis tetap saja berada diatas mimbar dan tak sanggup ku menghentikannya, tak punya tenaga untuk membungkamnya. Lepas rintih tubuh letih yang kian tertatih-tatih, aku pun pasrah mengalah. Hingga ia berhenti sendiri karena aku mengangguk sebagai tanda memahami semua yang dikatakannya. Padahal, aku berpura-pura, karena tangis memaksa, karena terasa berdenyut sakit dikepala.

Perjalanan ku lanjutkan dengan sempoyongan, lalu redup mata ku terkesima pada para pelacur plastik kehidupan, yang membungkukkan kepala hanya karena permata dan singgasana, yang penuh hiruk pikuk, yang bercanda tawa menghamba pada sesama manusia. Lautan manusia yang mencium kaki sang penguasa untuk mendapatkan penghargaan belaka. Lautan manusia yang menerima penghargaan atas keputusannya membuat kebijakan. Lautan manusia yang memanipulasi kebijakan demi untuk membangun istana-istana kecil. Lautan manusia yang menghuni istana kecil untuk memperkosa nilai kemanusiaan. Lautan manusia yang diperkosa pun hanya bisa merintih ganasnya senggama keserakahan. Lautan manusia yang hanya menjadi penonton dari kebiadaban dan kedzaliman. Aku pun menonton drama kemanusiaan itu dengan membesarkan mata, menikmati para pelaku yang membuka paksa pakaian mereka, merenggut paksa milik mereka, menghancurkan paksa hidup mereka, merusak paksa kemerdekaan mereka. Aku hanya diam, bahkan tak sanggup walaupun untuk sekedar bergumam. Aku melihat berjuta kepala penonton tertawa dan terbahak-bahak karena melihat kelicikan tuannya menjadi sutradara, aku pun ikut tertawa namun malu untuk terbahak, karena gigi ku tinggal dua dimuka. Jeda pertunjukkan, para tuan dan puan mengajak penonton berdansa, ku berhasrat menunaikan ajakannya, namun aku lupa cara memainkan kaki dan pinggulnya. Sungguh, aku melupakannya, apalagi maju mundurnya...

Lalu tangispun menghampiri ku lagi dan berkata “hadir ku takkan pernah bermakna, bagi mereka yang terlalu akrab pada gelak dan tawa” ucapnya lirih sambil mencibir ku sehabis menyaksikan para setan berwajah dalang memainkan boneka kemanusiaan. Tangis pergi tanpa permisi, ku biarkan ia berlari tanpa sedikitpun ingin mencegahnya. Sadar ku turun dari ubun-ubun ke bagian muka namun enggan sampai ke ujung kaki. Terasa hidungku menghirup bau busuk yang menyengat di sekujur tubuh ku. Sambil mengingat penyebabnya, terasa bercampuk aduk baunya. Ternyata, sejak menginjak usia tanda remaja aku telah banyak mencintai kebusukan yang tampak menyenangkan, mengajakku pada kebahagiaan, terlihat ramah pada keasikan, hingga mabuk pun tak ku sadari kesesatan, hanya pikiran yang merasa diuntungkan, menjanjikan dan meyakinkan. Tangis sudah lama tak pernah bertamu ke rongga dada purna masa kanak-kanak ku, tak pernah aku mencarinya, jika akan berpapasan dengannya pun tak mau aku menolehnya, apalagi untuk bersemuka, sungguh tak sudi rasanya. Tangis ku jadikan stempel kebodohan dan kelemahan yang tak boleh mempunyai ruang disudut manapun di dalam hidup ku. Bahkan jika ia menumpang sedikit ditahi kuku pun ku merasa risih, dan lantas mengusirnya agar tak mengenalkan ku pada rintih.

Kembali ditengah perjalanan, ku ingin bercermin, berlari ke pasar untuk membelinya. Penampilan ku masih tetap sama, garis pakaian yang dikenakan masih lancip bekas setrikaannya, sepatu sekilap awalnya. Tak terjadi perubahan apa-apa pada muka, hanya terlihat sedikit merah menghiasi antara hitam dan putihnya mata. Itu tak mempengaruhi, aku tetap melangkah membusungkan dada, walaupun sebenarnya aku tak bisa menegakkan tulang belakangku yang memang agak bongkok dari asalnya.

Selepas tujuh tanjung, tujuh gunung dan tujuh samudera aku berjalan, aku menemukan pesona, aku melihatnya dengan membelalakkan mata dan mulut ternganga, terlena pada sepasang mata. Wanita setengah baya dengan pesona kerudung jingga. Ku hampiri untuk menyapa, tak dibalasnya. Aku berusaha menarik pesonanya, ia sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya, biasa saja, tapi sorot matanya tajam memandang ku dengan kecemasan. Aku bertanya namanya, ia hanya menjawab “asssalamu’alaikum” dengan lembutnya, segera ku menjawabnya. Lalu, aku bertanya asalnya, ia tak menjawab apa-apa. Semakin banyak ku ucapkan,tak ada jawaban yang ku dapatkan. Sebelum pergi dia hanya berkata “temuilah tangis dengan segera, makna dunia ada disana”. Aku diam, tangis ku undang namun tak kunjung datang. Aku terus berusaha menghadirkan dengan mengingatnya, namun tak jua tiba, ku paksa tak jua datang tanda. Tangis tak sudi nampaknya, membalas perlakuan ku selama ini terhadapnya, berprasangka.

Aku lupakan wanita itu dengan rasa yang menyesakkan dada, tak puas aku atas lisannya. Tangis yang diharapkan kedatanganya tampak sia-sia. Lalu ku lihat sembilan kucing berjalan bersama, indah warnanya dipelupuk mata. Ku menghampiri dan merangkulnya secara bergantian. Ku cium dan ku peluk sepuasnya dengan belaian yang bergantian pula. Lalu aku merasa ada yang berbeda dari sembilan kucing yang ada, satu darinya mengalami keunikan. Coba ku perhatikan dengan seksama, ternyata delapan kucing berwarna indah tak ada yang berekor, dan satu berwarna kusam membosankan tampak korengan mempunyai ekor. Aku lihat mukanya penuh dengan genangan air mata yang jatuh dari pelupuknya, rasa jijik untuk menyentuhnya. Penasaran ku memanggil hasrat jiwa untuk mengungkap rahasia kekurangannya. Aku bawa sembilan kucing pada seorang petapa, yang alas tidurnya dari anyaman pelepah kurma, yang mencintai pengikutnya melebihi kecintaannya pada dirinya. Aku duduk bersila, tertunduk dihadapnya, menyampaikan salam dan lantas bertanya “Tuan, apa maksud dari sembilan kucing ini, yang satu diantaranya berbeda dari lainnya...” usai ku menghaturkan pertanyaan, manusia suci itu menjawab dengan penuh kesopanan dan keramahan. “...yang satu itulah kucing yang sempurna penciptaannya, dan lebih baik dari delapan lainnya, warna hanyalah fatamorgana, tanda zaman yang kian senja” aku terkejut atas jawabannya, dan ingin kembali bertanya, namun sang Tuan segera menghela “jangan kau bimbang dan ragu atas ucapan ku, temukan kebenaran dengan tangis” dia menyudahi pembicaraan, dan lantas pamit dari hadapan. Aku bisu, kelu, bahkan untuk menjawab salam perpisahan hanya dengan anggukan.

Aku pulang, tak ada lagi yang dapat ku busungkan, bahkan bercermin pun rasanya aku malu. Tidur mengalami keresahan, membaca pun hanya menambah kegelisahan. Siang dan malam silih berganti, aku menanti tangis datang, tak kunjung ia bertandang, hanya sesekali dada terasa berisik, tapi setanpun terasa terus berbisik “jangan kau undang tangis, hanya membuat hidup pesimis” rayunya.

Gemercik air turun pelan-pelan dipelataran saat waktu bercumbu dengan kepekatan, pertanda tetes dari langit turun bergantian. Aku merusak keheningan dengan melepas angin berbau dari sebuah lubang. Dengan langkah malas aku ke pancoran menadah air yang diturunkan makhluk yang terbuat dari cahaya atas perintahNya. Selesai bersuci, ku berdiri mengangkat kedua belah tangan hingga ke telinga, bertutur apa yang telah disabdakan utusanNya, sambil mengulum sisa percikan air di muka, terasa asin dan hangat rasanya...

Ingin Hamba Mencintai Tangis Mu,
Bolehkan Tuhan?