Selasa, 09 Maret 2010

Sandal Jepit dan Hati Terhimpit



“bisikan tentang mu telah berkarat,

sulaman hati telah dilipat,

nostalgia tak dapat diingat.

bukan karena pikun,

tapi mata sudah melepas lamun,

dan aku telah mulai menenun"





Harga sepasang sandal jepit ku mungkin tak seberapa. Aku membelinya dari toko sebelah rumah yang penjualnya longgar dalam tawar menawar. Setelah harga sama liur antara aku dengan penjual, ukurannya sandal tak ada yang pas, ada yang kebesaran dan ada yang kekecilan. Tak ada yang benar-benar pas dibelakang dan dimuka. Sipenjual merayuku untuk sabar, dia berlari kebelakang membongkar gudang. Dibawanya empat sandal jepit yang katanya baru, walau ku pandang kelihatan usang. Aku mencobanya satu persatu. Tiga diantaranya terlalu besar dan hampir saja aku batal. Sisa satu yang belum dicoba, ternyata size nya sesuai dengan yang ku cari dan cocok ketika dicoba. Maka, jadilah aku membelinya, seharga sebiji permen bagi orang kaya.

Sandal jepit itu terasa ringan untuk dilangkahkan. Sehabis magrib, beranjak dari pelataran masjid. Tampak semangat untuk segera pulang, ingin membaca pesan yang datang. Sejak tadi memang gelisah, sejak takbir hingga usainya do’a. Terlihat dari gerakan shalat bagai bersilat, bibir komat-kamit terdengar sengit. Jika bisa imam pun ingin diganti, agar tak melantunkan bacaan dengan mendayu karena membuat dada kian memburu. Setelah salam ke kanan dan kiri tak lantas berdiri untuk pergi. Demi menjaga kesopanan masih ikut wiridan, walaupun membaca pelan karena berbagi dengan pikiran. Nah, itulah riwayat ku menyambut petang kemarin. Menanti jawaban tentang sebuah ajakan, lewat sebuah pesan yang ku kirim menjelang adzan.

Ditepian sungai kita janji bersemuka, di sudut jalan yang bangunannya tampak mulai berlumut. Sandal jepit menjadi alas ku menghampiri mu, untuk mendengarkan sebuah keluh kesah. Keresahan yang tampak mengganjal dihati mu, tentang pria sejati. Tanpa terasa kita sudah saling pandang dengan senyuman, dan kau mulai menyapa ku dengan salam.

“ada apa dengan mu, baiknya engkau ceritakan” aku meminta

“engkau laki-laki yang baru ku kenal dalam sebulan, semoga bisa menjadi tempat aku bercerita, tanpa paksa, dan entah dorongan dari mana” ujar mu merona

Bersahutan burung gereja menyanyi, disela itu mulailah kau bercerita. Aku menjadi pendengar setia, dengan sesekali bertanya. Cerahnya langit biru, memudahkan ku mencuri wajah mu, untuk ku tabung disaku hati ku. Diam-diam cerita itu ku rekam, dan ku ringkas dalam catatan harian.


*****

Engkau, gadis kecil nan mungil dari sebuah desa. Datang ke kota kecil ini untuk menjalankan Iqra’ yang diperintahkan-Nya. Engkau kenakan seragam putih abu-abu dengan berjalan kaki, kau sapu debu jalanan sepenuh hati. Setiap hari engkau hanya berkutat dengan pelajaran yang harus dipahami. Hingga suatu waktu ketika sekolah usai menyerahkan ijazah, engkau didekati oleh seorang pria yang sudah kuliah. Pria itu mengenalkan pada mu tentang keindahan kota kecil ini, mengajak mu berjalan bersama teman-teman. Perlahan, laki-laki itu menaruh perasaan pada keindahan paras mu yang elok dan rupawan. Indah rona mu dibalik jilbab putih yang berseri, membuat laki-laki itu terus mencoba untuk mencintai. Engkau tak pernah mengatakan rasa yang serupa, namun sulit sekali hati mu menunaikan pinta untuk mencintainya. Tak ada kata cinta yang kau ungkapkan karena hingga diperguruan tinggi pun tak jua kau rasakan.

Hingga suatu waktu, lelaki itu harus pergi ke seberang sana karena tugas pekerjaan yang tidak boleh dielakkan. Engkau melepasnya dengan kesedihan walau air mata tak kau jatuhkan. Merasa kehilangan sebagai seorang gadis yang ditinggalkan, hanya sebaris do’a yang kau iringkan. Bersama lajunya pesawat yang terbang meninggalkan negeri ini, disaat itu pula benih cinta mulai bersemai. Sayang lelaki itu pergi, kembali lagi engkau pada kesendirian, yang hanya berkutat dengan tugas dan diktat. Melepas kepergiannya dengan mata terbuka dan telinga yang menganga, menanti kapan ia akan kembali menyapa. Selama ia disana tak ada surat yang kau dapat, dan tak ada pesan yang dikirimkan, hingga ayah mu membelikan sebuah telepon genggam. Dia mengetahui nomor ponsel mu dari seorang teman, dan komunikasi pun kembali berjalan diantara kalian.

Di suatu hari yang kelabu, engkau menyapa pria itu lewat sebuah pesan. Namun sayang, seorang perempuan menelpon mu dengan teguran, untuk tidak mengganggu kekasihnya. Engkau terkejut bukan kepalang, karena laki-laki yang mulai bersemai dihati diambil orang. Walaupun cinta tak pernah engkau ucapkan sejak perkenalan hingga ia pergi, namun seharusnya dia telah mengerti bisikan mu selama ini. Cinta yang pernah bersemi mulai layu kembali, karena hati diseberang sana tak lagi menyirami. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, itulah pribahasa yang pas untuk menggambarkan suasana hati mu saat itu. Perlahan dan pasti, mulai hilanglah perasaan yang sempat muncul, terenggut oleh rasa hati yang terpukul.

Siang malam tak lagi kau menghiraukannya, kau kuat dengan sikap yang sigap. Hingga bertahun dari peristiwa itu, kau mengenal seorang pria sejati yang kau cari untuk meluluhkan hati. Kau mencintainya dengan sejuta pesona, pria yang bertanggujawab dan penuh pengertian. Mengayomi mu bagaikan seorang ayah memeluk anaknya yang kedinginan. Kau menjalankan hati mu dengan tak menampakkan rasa, berpura-pura. Engkau mendiamkan cinta di hati dengan segera mengalihkan pandangan mu bila berpapasan dengannya. Jika terpaksa bertatap muka, engkau hanya terlibat dalam canda dan tawa, seakan tiada cinta. Engkau membohongi perasaan mu dengan segala daya upaya. Hingga rasa itu memendam membentuk lingkaran yang memancarkan, namun tak jua kau ungkapkan. Pria yang kau cintai itu tahu bahwa kau punya rasa padanya, dan mungkin dia juga begitu, menurut tebakan mu ketika bercerita pada ku. Setiap pertemuan yang berlangsung dalam sebuah acara, lelaki idaman itu datang dengan membawa pacarnya. Engkau diam tak bisa berkata apa-apa, hanya mengalihkan pandangan mata, menutup hati yang kecewa.

Diam mu bagai disangkar emas, hati indah namun tak bisa mengepakkan sayap. Engkau tetap memilih untuk tidak mengungkapkan, karena hati mu tak ingin menghancurkan hubungannya dengan seorang gadis yang telah terjalin sekian lama. Sungguh perih cinta tak berbalas, walau berusaha belajar ikhlas. Tak ada keikhlasan jika indahnya hati mu disesalkan. ikhlas yang sempurna hanya memberi tanpa berharap untuk berbalas. Setiap dalam keheningan malam, engkau mengadu pada Tuhan untuk mendapat petunjuk jalan keikhlasan. Semuanya tetap berjalan, engkau tak bisa melepaskan, selalu membayang dalam angan. Bersama dengan keikhlasan yang ingin kau dapatkan, pria yang pernah meninggalkan mu pun datang kembali ke kota ini dengan seutas harapan.

Pria yang pernah mengisi hari-hari mu sejak usai berpakaian putih abu-abu, kau sambut tak secerah dulu. Tak ada lagi yang tercecer dihati dari nostalgia yang telah terhapus semua. Kau kembali dalam kekosongan walau dia tetap mengharapkan. Dia ingin berpulang kepangkuan mu, dan berharap hati mu tetap menunggu. Dia berpikir perasaan mu seperti dulu saat pesawat terbang membawanya pergi melaju. Tak pernah dia membayangkan bahwa sekian banyak laki-laki menunggu putusan hati mu. Dia masih meyakini bahwa hanya ada dia yang pernah menyinggahi perasaan mu yang indah dan cerah. Pria berambut lurus ini selalu mengajak mu untuk menikah, membawa mu terbang untuk menghadapi masa depan. Apalah artinya hidup, jika cinta hanya mengandalkan logika tanpa memahami hati, atau sebaliknya. Engkau selalu menolaknya, karena rasa setetespun tak lagi membasahi relung hati. Dia selalu berkilah bahwa selama ini selalu menunggu mu. Engkau merasa perjalanan yang dilakukan, berhenti ditengah jalan ketika semangat mulai menghangat, itu menjadi makna tersendiri hingga menghentikan perjalanan sebagai sebuah keputusan, bahkan hingga membakar peta tujuan. Engkau malah memberinya jalan untuk mempersunting gadis yang lain, karena cintanya tak lagi mempesona. Tanpa kejelasan, air mata pun akhirnya kau teteskan.

Engkau menangis bukan karena lelaki yang pernah meninggalkan mu ke pulau seberang, yang kini telah datang. Ternyata engkau menangis karena pria sejati yang hatinya kau tambat namun tak terjawab. Lelaki yang telah mengenalkan sakitnya arti kecewa mencintai sesama. Lelaki yang mencintai seorang gadis, yang tak lain dan tak bukan kekasihnya itu sahabat mu sendiri. Engkau mencintai kekasih teman sejawat, ibarat pagar hendak makan tanaman. Engkau telah berusaha mengelakkan, namun hati tak dapat dibohongkan. Engkau terus menangis karena merasa sakit untuk diceritakan. Aku turut bersedih namun harus bisa menahan untuk dapat fokus mendengarkan .


*****

Setelah beberapa lama, sandal jepit yang ku kenakan sepertinya terasa menyakitkan. Saat duduk santai dipelataran rumah yang lantainya mulai banyak kebobolan. Diantara lengkungan karet yang menancap pada alasnya terdapat serpihan tajam tak beraturan. Aku menggeliat mengubah posisi kaki, karena tak mau tersakiti. Menyita waktu merapikan sandal jepit tersayang agar nyaman untuk dipakai.

Tiba-tiba, teringat pada suara mu dibalik handphone murah ku beberapa hari yang lalu, yang telah tampak ceria. Engkau sudah sedikit demi sedikit melepaskan goresan hati yang pernah perih. Selain karena engkau mengadu pada Tuhan, luka itu telah sedikit terjahit dengan keceriaan kita berkenalan. Walaupun beberapa kali engkau sempat mengalirkan air dipipi ketika kita larut dalam obrolan. Itu bukan karena aku menyakiti, namun karena aku mengajak mu lebih dewasa dan lebih memahami makna hidup yang sebaiknya-baiknya. Kita seringkali terlibat saling menyarankan, hingga semuanya tanpa terasa berjalan dengan nyaman. Tak ada rasa dihati mu walaupun aku selalu tersipu.

Selayang pandang, pekat malam terhias bias terang, kita menutup perbincangan lewat pesan singkat yang saling berbalas.

“setelah sekian lama aku mengadu pada Tuhan disaat malam, sambil aku menata hati, aku telah mulai ingin membuka diri. Mulai hari ini, dengan keikhlasan yang telah hadir, mengajar ku untuk kembali membuka tabir” isi short message mu di mata ku.

“syukur, semoga itu sebuah jalan, untuk mencapai sempurnanya keikhlasan. Ikhlas adalah kemampuan menerima dengan lapang dada atas sebuah peristiwa yang membuat kecewa” balas pesan ku.

Cantik rembulan diatas atap, tak jua mata ku ingin terlelap. Tadi siang aku telah berjanji pada mu, untuk menuliskan sebuah cerita tentang mu. Walaupun kau tampak ragu, namun aku berhasil meyakinkan mu. Nama mu tetap ku rahasiakan, tak boleh aku sebutkan. Aku hanya menulis sepenggal hati mu, sebuah nama yang telah terbingkai dalam hati ku yang paling dalam. Engkau, seorang gadis berkerudung putih yang kutemukan, dalam kesederhanaan dan kebersahajaan.

Aku duduk diam-diam, rasa ngantuk ku tahan, meskipun air mata mengalir keletihan. Menyelesaikan cerita mu bagi ku sebuah kewajiban, karena janji harus ditunaikan. Sambil melihat jam tangan yang melingkar, aku selesaikan alenia terakhir tentang sejengkal jalan.

Engkau kini telah bisa terlelap dan makan yang lahap. Dengan menyimpan sekeping hati, kau menjalani untuk menemukan sosok pengganti. Engkau telah ditawan dengan seabrek kesibukan dari terbit matahari hingga tenggelam diufuk malam. Mulai sepi guratan kesedihan yang terdengar dari obrolan, walaupun aku tak tahu yang sebenarnya. Gadis, benarkah engkau telah mengikhlaskannya, atau engkau sedang berpura-pura?

Selepas menyimpan sandal jepit yang mulai kembali nyaman bila dikenakan, mata ku tak lagi bisa menahan, ku akhiri saja cerita ini dengan permohonan. Maaf gadis, jika cerita ini tak mewakili hati mu, sehingga tak enak untuk dibaca, apalagi bila dieja…


Usai Bola Dipelupuk Mata

Subuh, Pertama Engkau Yang Ku Sapa

10032010                            05.29 Wib

0 komentar:

Posting Komentar