Entah mimpi apa yang datang jika tidur awal menjadi kaget tanpa alasan, bangun sebelum tengah malam. Tentu tak seimbang dengan kondisi badan, keletihan, yang seharusnya terbayar selepas seharian mutar-mutar tanpa garis edar. Paling tidak, seharusnya badan ini tidur minimal 5 jam. Setelah kaget berdiri, cuci muka yang aku bisa. Malam sudah menenun kegelapan, ke warung kopi menjadi pilihan. Duduk ditemani sebotol air mineral tanpa kopi, ditemani 2 (dua) anak manusia yang seringkali bersama. Cukup lama mencari referensi dan bahan, namun belum ditemukan, hingga waktu online pun tak terasa. Lepas tengah malam, memilih bubar. Diparkir terasa perut lapar, padahal diawal malam sebelum tertidur sempat menelan bakso sambil mendengar banyak senda gurau dari teman-teman. Tadi sempat bertemu si Dia dengan penuh nuansa, tak ada yang berbeda dari pertemuan sebelumnya. Kita hanya saling menyapa, dan bercerita tentang MR yang mengajaknya berbincang. Oh maaf, jika dikesempatan ini, aku pun tak bisa melupakan senyumnya.
Usailah cerita pertemuan dengan si Dia tadi. Mari lanjutkan kembali cerita ku selepas tengah malam. Keluar dari parkiran warung kopi, mengajak teman-teman makan diemperan, disimpang jalan Alianyang-Penjara. Itu tempat kami nonkrong untuk menemukan suasana baru. Mendekatkan diri dengan para pedagang kecil yang nasib dagangannya setiap hari semakin ganjil. Memilih makan masakan bibi yang warung kaki limanya menjual rujak, nasi kopi, dan makanan lainnya. Kami bertiga memilih untuk makan nasi, dengan lauk pauk yang berbeda porsi. Kompak es teh yang kami pesan, tak hirau diluar tampak hujan. Kami duduk dan makan dipelataran warung, sambil menyuap dan menelan diselingi tawa. Masih saja seputar pertemuan ku dengan si Dia yang tak pernah terduga akan kepergok sama mereka. Aduh, malunya. Kembali memilih diam saja saat olok-olokan itu menciutkan telinga, tak mesti dijawab, agar semuanya semakin sederhana. Agar mereka bisa menganggap itu hal biasa, meskipun terlihat aku paling “tua” diantara mereka. Tak ada waktu habis, canda mereka kian manis meski mengiris. Jangan membantah, karena bisa membuat pikiran lelah. Jangan diklarifikasi, karena mereka tak pernah sangsi pada asumsi. Maka dari itu, diam saja.
Ditengah gelak bertandang, tiba-tiba datang seseorang yang tak diundang. Perawakan tinggi, berkulit sawo matang (jika tak tega mau menyebut hitam) seperti ku. Terlihat rambut pendek agak ikal, celana coklat muda, dan berbaju putih sebuah partai politik. Duduk dihadapan kami bertiga yang duduk dibangku panjang menghadap jalan. Laki-laki itu langsung meminta rokok, dengan tangannya langsung meraihnya. Rokok Marlboro ku yang dipilihnya, meski ada Dji Sam Soe Refill dimeja yang sama. Dia langsung menyalakan dengan cricket biru yang bertahan ditangan ku sudah seminggu. Setelah rokok mengepul dia duduk sebentar, dan langsung kabur entah kemana, tampak menyeberangi jalan di sisi luar halaman warung. Obrolan pun berlanjut tanpa terasa terganggu oleh kedatangan tamu “agung” itu. Banyak tawa, sindiran dari dua orang teman tentang si Dia tetap berjalan dengan sempurna. Ampun Gusti, tadi pagi mereka makan apa, sepertinya “enak” saja air liurnya?
Dari hujan berganti gerimis, topik kami sedikit bergeser. Nasi dan dan lauk yang kami telan sudah diproses mencadi encer. Ngawor-ngidul tak ada suara yang membahana selain kami bertiga. Kami berbincang tentang obrolan dan nasib kaum kecil yang sepertinya kian menggigil. Tentang para intelektual gombal, politisi yang tak peduli, nasib Nahdlatul Ulama ditangan para kyai politisi atau ustadz birokrat. Berbincang harapan kami yang ingin melihat semuanya damai, tidak saling bercerai berai. Tanpa suara, lelaki itu datang kembali dihadapan kami. Langsung mengambil kembali rokok dihadapan ku yang sisa sebatang. Tanpa suara, dia menghisap es teh sisa punya teman ku yang tak lagi terasa manisnya. Kami biarkan saja laki-laki itu mengekspresikan kehendaknya atas milik kami, karena kami mungkin sudah “memaklumi” kelakuannya. Padanya kami belajar bertoleransi.
Membiarkannya, itu pilihan kami, karena untuk mengajaknya berbicara kami enggan memulai. Lalu, lelaki itu memunguti sisa-sisa nasi dari piring yang tersusun acak-acakan di meja makan. Dia mengais sisa gorengan ampla yang penuh abu rokok, karena piring sisa makan kami sulap menjadi asbak. Hati getir darah berdesir. Toleransi ini tak boleh dibiarkan, harus dilawan. Aku memberanikan diri menyapa lelaki itu dengan merendahkan suara. Menawarkan makan untuknya, dan dia menolak tanpa alasan. Tiga kali ditanya, tiga kali pula dia menolak dengan tegasnya. Mungkin, aku masih terdengar tinggi suara, maka ku melembutkannya. Tawaran ku untuk membayarkan asal mau makan diterima. AKu pesankan makan, persis porsi yang ku telan. Minum pun disamakan seperti yang mengalir di kerongkongan. Tak ada bedanya, karena dia juga manusia, seperti kami yang duduk merenda dunia. Sambil menunggu makan untuknya datang, kami bertiga diam membisu, bahkan pikiran pun buntu dan hatipun beku.
Dia menggeser duduknya ketika makan ke kursi sebelah, lahap sekali nampaknya. Kami bertiga masih terlibat bicara nostalgia. Tak ku pandang ia menelan karena khawatir dia menjadi sungkan. Aku hanya mencuri pandang, dia menelan dengan senyuman. Senyumnya terus mengembang sepanjang menikmati rejeki. Sungguh indah sikapnya dihadapan Tuhan, tak seindah kita yang gampang untuk makan namun selalu merasa kekurangan. Sungguh bijak ia menyikapi kekurangan, tak sebijak kita yang mencintai dunia dengan kerakusan. Alangkah sabarnya dia menjalani cobaan, tak sesabar kita yang menghadapinya dengan keculasan dan keangkuhan. Alangkah santai dia menahan lapar, tak sesantai kita yang demi makan ikhlas bertengkar. Betapa nyaman dia menjalani kehinaan dimata orang, tak senyaman kita yang sombong sekalipun dihadapan Tuhan. Betapa riang dia dipandang sebelah mata, tak seriang kita menghalalkan segala cara untuk bisa dianggap bahagia. Sungguh, Alangkah, dan betapa dia juga seorang insan seperti kami yang duduk bertiga.
Dengan merasa kenyang seusai santap menjelang dini hari, ia duduk menatap televisi. Sempurna tatapannya, terkulum senyumnya melihat film yang ditayang. Tak ada kata ataupun suara dari mulutnya. Hanya kerdipan mata bahwa dia tidak seaneh yang orang kira. Seringkali kita melihat orang-orang seperti ini yang berkelakuan aneh sebagai tanda manusia tidak waras, atau gila gampangnya. Gila itu kata yang sering kita daulatkan pada orang-orang yang unik dalam hidupnya, berbeda dengan manusia umumnya. Kita selalu menganggap diri paling waras, karena berprilaku menurut persepsi atau asumsi yang semestinya. Kita yang selalu mengira-ngira bahkan tak jarang dengan menerka-nerka. Lebih parah lagi, kita merasa manusia yang paling berhak menafsirkan titah-Nya dengan mengabaikan manusia lainnya. Bahkan lebih mudah lagi, kita yang bisa menikmati dunia dan isinya, merasa paling waras hidupnya. Mengejar harta dengan cara apapun kita lakukan untuk tidak dipandang sebelah mata atau dilecehkan dalam kehidupan. Kita, manusia yang gila sebenarnya namun mewaraskan diri dengan cara berpura-pura.
Waras dan gila bukanlah prilaku berlawanan, namun hanya sebatas perbedaan. Kita semestinya bisa mengilhami perbedaan dengan cara indah dalam memandangnya. Tidak lagi melihat orang berbeda sebagai manusia yang tak pantas hadir di dunia. Bahkan lebih kejam lagi, kita yang merasa waras atas pikiran sendiri tak lagi memakai nurani dalam menilai bumi dan isi. Sungguh, manusia tak ada yang sempurna, bahkan aku pun sempat menganggap laki-laki tadi itu juga gila.
Hujan teduh setengah tiga, kami pulang bersama menaiki kerangka besi tua. Tak ada obrolan dijalan, hanya tawa bersahutan, entah apa yang dibicarakan, tak jelas awal dan tujuan. Sesampai dirumah, aku segera mungkin untuk tak lupa, merasa menemui-Nya. Tak ada angin, bahkan semilir lembut pun tak datang disuasana hening. Ku lihat teman-teman tadi terlelap dengan tenang walaupun posisi tidurnya asal-asalan. Melihat mereka, aku jadi berpikir bahwa kita tak pernah waras selama 24 jam, karena dalam tidur kita tak bisa mengatur. Berserah pada kemauan-Nya layaknya laki-laki diwarung tadi, yang keondisinya karena kehendak-Nya. Aku pun gila merasa menghadap-Nya, padahal bisa jadi itu keberpura-puraan ku mentaati perintah-Nya. Apapun amal yang kita lakukan dan kedudukan yang diemban, jangan dijadikan modal untuk minta diagungkan, dipuji bahkan untuk didewakan. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga selalu merendahkan hatinya. Baginda pernah berkata “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Quraisy yang biasa makan ikan asin” di suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi dan gemetaran -oleh wibawa beliau- saat berbicara.
Indahnya Kanjeng Rasul, yang tak pernah memandang hidup orang lain dengan sebelah mata. Selalu mengayomi perbedaan dan kealfaan manusia dengan kerendahan hatinya. Tidak seperti kita kebanyakan, dan aku yang menuliskan, hanya mengejar dunia dengan isinya tanpa bisa sederhana dan bersahaja. Tanpa mengenal waktu, hanya merasa waras dengan pikiran sementara. Bisa jadi, kita lebih gila dari saudara ku di warung tadi yang telah dibebaskan hukuman atas dirinya. Jika dia dianggap gila karena tak bisa menggunakan akalnya, mungkin kita gila karena berlebihan menggunakan fungsi sebagai manusia.
Akhir cerita dari perjalanan, melepas Jum’at yang keramat, aku gerakkan jari-jemari untuk menari. Abjad tersusun tak rapi, ditemani segelas kopi, aku mengenang nostalgia malam tadi. Mengenang lelaki itu, dimana salah satu teman ku berkata dengan nada tanya “apakah dia itu orang gila?”. Aku pun beranikan hati menghina diri sendiri dengan berkata “mungkin (aku) juga gila”
Shalawat dan salam pada Paduka, Ya Rasulallah, aku merindukan mu…
Lepas jum’at, menatap benteng dan bidak
Digerakkan teman dengan otak
Terdengar dahsyat beberapa kali berteriak, skak!
Namun sayang, tak juga mat, karena lawannya selalu bertindak
11032010 Jam 13.05 Wib